Teror Rembulan Jingga

Djoana Jasmine
Chapter #3

Jill Dee

Bisik-bisik mengiringi langkahnya menuju kelas. Luna menghela napas berusaha bersabar. Ia lalu menghampiri beberapa gadis yang sedang duduk merapat sambil berbisik-bisik sembari sesekali melirik ke arahnya.

“Pagi Ana, Nadia, Eren,” sapa Luna berusaha terdengar ceria dan biasa-biasa saja.

Ketiga anak yang disapa saling lirik singkat kemudian tersenyum ke arahnya. Luna balas tersenyum kemudian melangkah pergi. Ketiganya sudah kembali berbisik-bisik. Entah apa yang digunjingkan teman-temannya tentang dirinya, tapi kerap kali ia mendengar nama Riz disebut-sebut. Mereka kompak menuduhnya sebagai penyebab kematian Riz. Ia bisa apa?

“Jangan sok ramah! Kau tidak dengar mereka terang-terangan menyebutmu biang masalah? Pembawa sial?” Jill berujar pelan beberapa langkah di belakangnya.

Yah, kalau mau dibilang jengkel, pastinya. Tapi, ia sadar mereka benar.

“Wah, wah, wah. Ada si pembawa sial, nih,” kata Helena begitu ia tiba di pintu kelas. “Oo, ternyata si anak baru juga ada.” Gadis sok penguasa di kelasnya itu mengernyit memandang Jill.

“Hey, anak baru. Jangan mau dekat-dekat sama ini anak, anak baru sebelumnya juga didekati sama dia, eh, anak itu malah berakhir tragis. Mati dengan kepala ditembus peluru.” Helena membuat suaranya terdengar keras. Beberapa anak bahkan berhenti dekat koridor untuk menonton.

“Minggir!” seru Luna, berusaha menahan amarah. Ingin rasanya ia menampar Helena. Tapi ia tahu pasti, Asti dan Nafa, dua dayang-dayangnya pasti tidak akan tinggal diam.

Seseorang menyeruak di antara Luna dan Helena yang berdiri di hadapannya. Helena berseru kaget, rupanya Jill yang menerobos, ia berdiri di depan Luna, menghadap ke Helena.

“Minggir! Dasar tolol! Kalau kau mau jadi tontonan, silakan teriak-teriak di lapangan sana, jangan menghalangi orang masuk kelas.” Jill berkata tajam.

Helena tampak terkejut. Ia melotot marah kemudian mengangkat tangan untuk menampar Jill yang lancang. Selama ini tak ada anak manabpun yang berani memakinya.

“Au! Aduh sakit! Dasar sakit jiwa!”Helena memaki-maki ketika tangan yang semula bergerak untuk menampar malah dipelintir Jill ke belakang punggungnya. Teman-teman sekelas Luna berkerumun menonton. Beberapa terang-terangan memandang kagum Jill, si murid baru gadungan yang berani menghadapi Helena dan genk penindasnya.

“Jangan main-main denganku. Lain kali tanganmu bisa patah atau malah diamputasi.” Jill mengancam. Diiringi sorak sorai anak-anak yang kagum akan keberaniannya. Bisik-bisik terdengar cukup nyaring sampai ke telinga Luna.

“Wuih, hebat!”

“Aih, kerennya, sudah cantik, pemberani lagi.”

“Sodaranya Luna kali, ya. Gitu amat belainnya.”

Helena melotot marah ketika akhirnya Jill melepaskan tangannya.

“Awas aja!” Ancam Helena, kemudian keluar dari kelas diiringi dua anteknya. Kata Awas yang dilontarkan Helena membuat Luna merinding. Biar bagaimanapun, Helena terkenal sebagai tukang bully nomer wahid di sini, dan dia selalu lolos dari hukuman.

Jill mengabaikan tatapan dan seruan-seruan kagum itu. Seolah dia tidak membutuhkannya dan dipuji hampir separuh angkatan yang menyaksikan aksinyan barusan tidaklah penting. Dia malah duduk santai di bangkunya yang tepat berada di sebelah Luna.

Luna menghela napas jengkel. Sikap Jill tadi menurutnua sudah berlebihan. Sama saja membocorkan kepada anak-anak satu kampus kalau Jill adalaj boduyguardnya. Ditambah lagi, dia berani-beraninya cari perkara dengan Helena. Gadis arogan tersebut pasti bakal cari cara buat balas dendam.

Mata kuliah kritik sastra berakhir tepat di jam makan siang. Sepanjang pelajaran, Luna memasang muka dongkol dan mengabaikan Jill. Tetapi sepertinya Jill sama sekali tidak terganggu. Dia duduk tenang menyimak penjelasan dosen tentang kritik sastra angkatan 45. Sok banget. Kayak dia ngerti aja.

“Mau ke mana ikut-ikutan berdiri?” Luna berseru sewot, ketika Jill bersiap mengikutinya.

“Mengerjakan pekerjaanku! Menjaga kamu!”

“Psssst, jangan keras-keras. Orang-orang bisa dengar!” Luna melotot ke arah Jill yang tentu saja seperti memelototi tembok. Ekspresi Jill tidak berubah sama sekali. Percuma memang bicara dengan patung batu muka tembok. Bodo amat. Yang jelas dia lapar.

Luna berjalan ke kafetaria kampus. Jill mengikutinya di belakang.

“Aduh!” Luna memekik bertabrakan dengan seseorang, ketika dia melirik Jill kesal.

Gila, ganteng banget!

Respon pertama di kepala Luna. Ketika menatap orang yang baru saja ditabraknya.

“Maaf. Sebenarnya kamu yang salah. Tapi nggak papa. Saya yang minta maaf.” Suaranya soft spoken sekali. Otak Luna korslet sepertinya, bukannya merespon perkataan orang itu, malah salah fokus ke suara dan tampangnya.

Lihat selengkapnya