Senja kian tua. Warna merah di ufuk barat tinggal segaris. Cahayanya tak lagi perkasa. Kegelapan mulai menyempurnakan kekuasaannya atas bumi. Nyaris tidak ada lagi sudut yang luput dari cengkramannya. Perlahan semuanya menghitam. Hal itu membuat Trimo kian panik. Ia berharap malam mau sedikit berbaik hati dengan tidak buru-buru menurunkan seluruh jubahnya. Namun senja tak kuasa bertahan. Dia berlalu zonder pamit. Trimo pun kian keras melecut cemetinya. Menimbulkan bunyi seperti ledakan mercon. Segerombolan bebek di depannya terkejut dan berusaha mempercepat langkah, mendaki dinding sawah yang terjal. Akibatnya beberapa ekor bebek bertubrukan dan jatuh berguling kembali ke sawah. Rombongan bebek terpencar karena ketakutan. Dengan sigap Trimo menggiringnya agar bebek-bebek itu kembali ke barisan awal.
“Huh …!” dengus Trimo kesal setelah berhasil menyatukan kembali bebek-bebeknya dalam barisan. Kini ia tidak mau lagi membunyikan cemetinya. Ditunggunya dengan sabar satu persatu bebeknya naik dinding sawah. Setelah semua berada di tegalan, Trimo baru menghalaunya. Bebek-bebek langsung itu berlari menuju pekarangan dan masuk dalam petak yang diberi pagar kayu setinggi setengah meter. Setelah memastikan jumlahnya cukup, Trimo langsung menutup pintunya.
“Mo, Trimo!” panggil Ijal dari samping rumah. “Sini!”
Trimo menyimpan cemetinya di bawah atap rumah yang menjorok hinga ke kandang bebek, lalu mendekati Ijal. Meski sama-sama kelas II SMP, namun tubuh Ijal jauh lebih besar dengan perut sedikit buncit.
“Ada apa, Jal?” tanya Trimo. “Kok kamu belum mandi. Bukannya sudah mau Magrib.”
“Iya, sebentar lagi,” sahut Ijal cuek. “Nanti malam kamu ikut ya.”
“Ke mana?”
“Main jailangkung.”