Malam itu cuaca sangat terang. Bulan mengapung tenang di angkasa. Selesai mengaji, Trimo, Ijal dan Jarwo pergi ke belakangan mushola. Lapangan yang mereka maksud hanyalah pekarangan kosong yang sering mereka pakai untuk bermain bola. Tempatnya memang strategis karena di sekitarnya tidak ada rumah. Sementara di sebelah barat langsung berbatasan dengan sawah tempat tadi Trimo angon bebek.
“Apa itu, Wo?” tanya Trimo keheranan ketika dilihatnya Jarwo mengambil orang-orangan yang biasa digunakan untuk mengusir burung di sawah saat padi mulai berbunga hingga menjelang panen, dari bawah pohon kelapa. Rupanya benda itu sudah disembunyikan di situ sejak siang.
Jarwo menunjukkan orang-orang itu tepat ke wajah Trimo.
“Medi (hantu) sawah,” kata Jarwo lantas diikuti tawa berderai.
“Jadi, jailangkungnya ini?” tanya Trimo.
“Iya, betul. Nanti kalau sudah dimasuki arwah orang mati, medi sawah akan bergerak-gerak sendiri,” terang Ijal.
Trimo terdiam. Bukannya dia tidak tahu soal itu. Trimo hanya ingin memastikan teman-temannya tahu resiko yang akan dihadapi. Apalagi Trimo tidak yakin Ijal punya keberanian untuk berhadapan dengan arwah orang yang sudah meninggal. Meski bukan penakut, namun Ijal selalu menolak ketika diajak mencari jangkrik di kuburan di ujung desa. Padahal di kuburan tua itu banyak jangkrik yang suaranya bagus dan badannya besar-besar. Bahkan ada yang sebesar jempol kakinya. Trimo punya dua jangkrik aduan yang ia dapatkan dari kuburan itu. Sampai saat ini belum ada yang bisa mengalahkan jangkriknya.
“Sekarang sudah siap. Ayo kita mulai,” kata Jarwo setelah menancapkan medi sawah itu di tengah lapangan.
“Mana pulpennya?” tanya Ijal.
“Untuk apa?”