Ijal dan Trimo tidak menyahut karena sama-sama masih memperhatikan orang-orang yang tengah berkumpul di lapangan. Salah seorang dari mereka lantas mencabut medi sawah yang tadi digunakan Jarwo dan teman-temannya untuk memanggil arwah, dan membakarnya. Terdengar sorak-sorai anak-anak ketika api membakar medi sawah tersebut.
“Ayo kita ke sana…”
“Gila kamu!” bentak Jarwo memotong ucapan Trimo. “Kita bisa dimarahi habis-habisan sama Pak Kyai!”
“Ya kita pura-pura tidak tahu,” balas Ijal mendukung saran Trimo.
Namun sebelum mereka bergerak, tiba-tiba di lapangan terdengar kehebohan yang lebih dasyat.
“Parman kesurupan!” teriak mereka.
Wajah Parman mengeras. Giginya saling beradu, menimbulkan bunyi seperti tulang yang tengah dihancurkan. Matanya melotot, sementara tubuhnya menggigil menahan amarah. Beberapa orang yang tadi berada di dekat Parman, langsung menjauh sambil berteriak-teriak. Kepanikan datang lebih cepat, menyebar ke segala penjuru. Pak Kyai yang datang tergopoh-gopoh tidak mampu mengejar Parman. Tukang becak itu sudah berlari ke tengah kebun kacang panjang. Tubuhnya hilang di antara tanaman yang merambat pada cagak- kayu penopang yang disediakan di sisi tanaman supaya tidak menjalar di tanah.
“Ada apa ini?” tanya Pak Kyai.
“Tadi ada anak-anak bermain jailangkung, Pak Kyai. Ketika diteriaki oleh Lik Sukir, mereka kabur ke sawah. ”
Trimo, Ijal dan Jarwo saling pandang dalam gelap. Ternyata mereka salah duga.
“Lalu siapa yang lari ke kebun kacang?”
“Parman!”
“Parman?”
“Iya, Parman tiba-tiba kesurupan saat kami membakar jailangkung itu.”
Dahi Pak Kyai berkerut.
“Jadi bagaimana ini, Pak Kyai?” tanya salah seorang warga.
“Parman harus kita tangkap untuk disadarkan,” jawab Pak Kyai.
“Tapi tidak ada yang berani menangkapnya.”
”Kenapa tidak berani?” tanya Pak Kyai.
“Takut dia ngamuk! Sepertinya Parman kesurupan arwah penasaran,” seseorang bersuara dalam gelap.