Selesai mandi dan berganti baju Trimo berjinjit menuju pintu depan. Ia takut orang tuanya bangun dan melarang keluar rumah karena sekarang sudah tengah malam. Ia membuka pengait dari balok lalu mendorong daun pintu tanpa menimbulkan suara. Sebenarnya palang balok yang berfungsi sebagai kunci itu bukan dimaksudkan untuk pengaman dari tamu tak diundang. Sebab ada lubang sebesar kepalan tangan orang dewasa di sebelah pintu yang difungsikan untuk memasukan tangan sehingga bisa membuka pengait pintu. Jadi kunci dari balok itu lebih dimaksudkan untuk menjaga agar pintunya tidak terbuka karena hempasan angin.
Setelah di luar, Trimo lantas menutup pintunya lagi dengan hati-hati. Ia merasa lega setelah memastikan orang tuanya tidak terbangun. Juga kakak dan adiknya.
“Mau kemana?”
Trimo berjingkrak mendengar suara di belakangnya. Spontan ia berbalik dan wajahnya langsung beradu dengan tatapan bapaknya.
“Masuk!” perintah bapaknya.
Trimo hendak membantah tapi tidak diberi kesempatan.
“Masuk!” Suara bapaknya meninggi. Kali ini disertai kibasan tangan untuk mendorong tubuh Trimo hingga terjajar pada daun pintu. Sambil bersungut-sungut Trimo pun membuka kembali daun pintu itu lalu bergegas masuk.
“Augh!”
Trimo tersentak mendengar pekik bapaknya. Namun ia hanya berhenti sebentar untuk memastikan suara itu. Setelah tidak terdengar apa-apa lagi, Trimo langsung menuju bangku panjang di ruang depan dan merebahkan tubuhnya di situ. Mencoba memejamkan mata meski hatinya masih kesal. Tentu Ijal dan Jarwo tengah menungguku, pikir Trimo. Ada sesal mengapa tadi ia pulang. Lebih baik tetap memakai pakaian kotor tapi bisa mengetahui kejadian di rumah Pakde Karjo daripada sekarang harus tidur begini, pikirnya.
Sampai beberapa saat Trimo hanya tergolek di bangku panjang itu tanpa bisa memejamkan mata. Hatinya tambah rusuh. Ia bangun dan merasa terkejut karena pintu depan masih terbuka. Kemana bapak? tanyanya dalam hati. Mengapa pintunya tidak ditutup? Apakah bapak pergi lagi? Sekilas ia merasa ada jalan keluar. Bapak pasti kembali ke rumah Pakde Karjo. Trimo baru menyadari emak dan saudara-saudaranya tidak ada di rumah. Semua pasti sedang melihat kejadian di rumah Pakde Karjo, simpulnya sambil berdiri.
Trimo bergegas menuju pintu. Namun begitu sebelah kakinya berada di luar rumah, matanya langsung terbelalak. Tubuhnya menggigil. “Bapak...!” teriaknya.
Trimo menubruk tubuh bapaknya yang tengah mengejang-ngejang tanpa suara. Tangan kanannya memegangi leher, sementara yang kiri memegangi dada. Dalam keremangan cahaya malam, Trimo melihat luka menganga di kedua tempat itu. Darah masih mengalir meski sudah sangat pelan. Mungkin karena seluruh darahnya sudah tumpah, membanjiri tubuhnya.
“Bapak!” teriak Trimo lagi sambil mengguncang tubuh yang tengah berkelojot meregang nyawa itu.
“Tolong...tolong!” teriak Trimo sejadi-jadinya. Suara bergema, menerobos kesunyian. Beberapa saat kemudian muncul beberapa orang.
“Apa yang terjadi, Mo?” tanya mereka begitu melihat tubuh bersimbah darah di depannya.
“Tidak tahu! Aku tidak tahu! Tolong bapakku. Bapakku mati!” jerit Trimo.
Sejumlah orang langsung menggotong tubuh laki-laki renta itu ke dalam rumah. Mereka kebingungan hendak berbuat apa untuk menolong tetangganya. Puskesmas terdekat berjarak dua kilometer. Tidak mungkin juga membawanya ke Puskesmas dengan dibonceng motor.
“Coba pinjam mobil pick up Pak Santoro,” seseorang berucap dalam panik. Namun suaranya tidak meyakinkan. Semua tahu, Santoro sangat pelit. Kemungkinan untuk bisa meminjam mobilnya sangat kecil.
“Ayo kita coba,” kata lainnya sambil berlalu diikuti dua temannya.