Pukul 00.35
Manto dengan ditemani lima warga menuju ke pohon asam tua di ujung jalan desa, dekat pemakaman. Masing-masing membawa golok di tangan kanan dan senter di tangan kiri. Hanya satu tekad mereka: membunuh atau dibunuh oleh Parman. Tekad itu membuncah dalam dada- setidaknya sampai di depan rumah Pakde Karjo. Selepas jembatan bambu, tekad itu mulai mengendur. Dan ketika tiba di jalan menuju ke pohon tua, tekad itu tidak bersisa lagi.
“Hati-hati, To,” bisik Sujiono sambil mencolek pundak Manto.
“Pohonnya masih jauh, belum kelihatan. Ayo jalan saja,” balas Manto tanpa menoleh. Namun tak urung langkahnya ikut melambat.
“Apakah kamu yakin Parman ada di pohon itu?” tanya lainnya.
Manto menggeleng, pelan. Orang yang tadi bertanya tidak melihatnya, namun dia juga tidak mempersoalkan. Pertanyaan itu hanya lontaran rasa takut saja, tanpa ada keinginan untuk mendapat jawaban pasti.
“Jangan asal sorot!” bentak Manto ketika salah satu dari mereka menyorotkan sinar senternya ke arah pohon. “Nanti saja kalau sudah dekat. Jangan sampai Parman mengetahui kedatangan kita.”