Trimo meradang ketika melihat kedatangan Ijal dan Jarwo. Ia berdiri dan langsung menyosong sebelum keduanya sempat masuk masuk.
“Semua gara-gara kalian!” teriaknya sambil menangis.
“Tenang, Mo, jangan marah-marah begitu.”
“Aku juga bingung mengapa jadi begini,” timpal Ijal.
“Kalian pura-pura saja!” sentak Trimo. “Kalian senang bapakku mati!”
“Sabar, Mo,” bujuk Ijal sambil membawa Trimo ke samping rumah. Jarwo dan Ijal takut ada yang mendengar pembicaraan mereka. “Aku berjanji akan menemukan Kang Parman!”
“Iya, Mo, saya akan cari Parman dan membunuhnya,” timpal Jarwo. Namun setelah itu ia membuang muka. Kalimatnya spontan terucap dan ia ragu apakah berani melawan Parman. Bukan saja usianya jauh lebih tua, namun badannya juga kalah kekar. Sebagai tukang becak, tubuh Parman sangat berotot. Kakinya yang hitam legam seperti galih kayu. Mungkin tidak mempan kalau saya tebas pakai arit, keluh Jarwo dalam hati. Namun ucapan itu sudah terlanjur ia lontarkan sehingga malu untuk menariknya kembali. Apalagi kemudian Trimo seperti bisa menerima janjinya sehingga tangisnya reda.
“Iya, Mo, kita harus mencari dan membunuhnya seperti dia membunuh bapakmu,” kata Ijal ketika dilihatnya Jarwo begitu tertekan dengan ucapannya.
Trimo mengangguk. Ia kemudian mengajak kedua temannya ke belakang rumah. Ia mengambil dua sabit dan satu parang yang sudah berkarat. Ia memberikan sabit itu kepada dua temannya sambil berkata, “Ayo kita cari Kang Parman!”
Bergegas ketiga pergi di tengah kegelapan malam. Sesekali mereka masih mendengar tangisan emak Trimo. Setelah agak jauh, suara tangisan terdengar dari tempat berbeda. Kali ini dari rumah Diman.
“Mengapa rumah Pak Diman juga ramai?” tanya Trimo.
“Pak Diman juga mati.”
“Mati?”
“Iya, dibunuh Parman juga,” terang Jarwo.
“Tunggu,” bisik Trimo dengan penuh tekanan. Suaranya masih sengau dan tersengal; sisa isak tangisnya. “Dari mana Parman mendapatkan senjata?”
“Golok,” potong Ijal.
“Kamu tahu dari mana Kang Parman membawa golok?” tanya Trimo. Tiba-tiba nadanya berubah.
“Tadi sewaktu kamu pulang, kami ke rumah Pakde Karjo. Ada yang melihat Parman bawa golok. Kenapa?” kata Ijal balik bertanya.
“Dari mana Kang Parman mendapatkan golok?”
Seperti tersadar, Jarwo dan Ijal saling berpandangan dalam gelap. Ya, dari mana Parman mendapatkan golok itu? Apa mungkin Parman mengambil golok dari rumahnya? Rasanya tidak mungkin karena rumah Parman cukup jauh dari sini. Meski sudah punya satu anak, tapi Parman masih tinggal bersama orang tuanya. Istrinya yang kurus dan pucat sedang hamil. Trimo mengenalnya karena istri Parman sering ke sawah mencari genjer untuk disayur.
“Waktu kamu minta mantra jailangkung, apa kata Mbah Rono, Jal?” tanya Trimo.
“Memangnya kenapa?” Jarwo bertanya sebelum Ijal menjawab. Sorot matanya mencoba mencari bola mata Trimo namun tidak berhasil. Malam terlalu pekat. Angin utara berhembus membawa gumpalan awan hitam.
“Apa kata Mbah Rono?” desak Trimo. Meski bukan siswa terpandai di kelas, namun nilai rapor Trimo masih lebih bagus dibanding kedua temannya. Trimo menutupi otaknya yang pas-pasan dengan selalu rajin belajar. Mungkin juga karena pengaruh bapaknya yang tangannya gampang melayang ketika Trimo malas-malasan belajar.
“Dia…dia tidak bilang apa-apa,” jawab Ijal, akhirnya.