Pukul 01.00
Manto berjalan paling depan tanpa menghiraukan lima warga di belakangnya. Ia mencoba meyakinkan rombongannya akan keberaniannya. Meski tidak ada yang mengangkat, namun Manto sudah menganggap dirinya seorang pemimpin. Dan sebagai pemimpin ia harus memastikan anak buahnya tunduk dan patuh pada perintahnya. Hal itu hanya bisa didapat jika ia bisa menunjukkan keberanian. Prinsip bahwa pemimpin haruslah orang yang paling berani didapatnya saat kecil. Ia selalu dianggap sebagai anak bawang karena tidak pernah berani mencuri telor di kandang bebek milik Pak Carik. Saat itu Manto selalu kebagian tugas untuk membawa dan menyembunyikan telor curian sebelum esoknya dijual di pasar.
Namun suatu hari Manto kena sial. Saat hendak menjual telor bebek itu, ia bertemu Pak Carik. Secepatnya dia berlari di tengah pasar. Akibatnya ia jatuh dan telornya pecah semua. Sampai sekarang Manto masih menyesali peristiwa itu karena sebenarnya Pak Carik tidak tahu dia membawa telor curian dari kandang bebeknya. Sejak itu juga teman-temannya tidak pernah memberi peran sebagai pembawa dan penyimpan telor lagi. Awalnya Manto merasa senang. Namun lama-lama risih jugakarena setiap kali mereka membeli jajan, Manto hanya diberi sisanya.
Setelah besar, Manto mencoba keberaniannya. Hal yang pertama kali dilakukan adalah membopong seekor ayam betina dari kandang tetangganya. Meski belum terhitung tengah malam, namun Manto tetap bangga karena sudah beran keluar malam sendirian. Apalagi ketika esoknya ia berhasil menjual ayam itu seharga Rp 10 ribu. Prestasi terbesar yang pernah diukir terjadi saat Manto sukses membongkar warung rokok Yu Sanem di dekat pasar. 10 slop rokok berbagai merek, satu kardus mie instan, dua renteng kopi dan sepasang sandal jepit berhasil ia bawa. Dan sandal jepit itu yang kemudian mengantarkannya ke penjara. Manto dibekuk setelah istrinya memakai sandal baru hasil curian suaminya ke pasar. Yu Sanem yang curiga lantas melapor ke polisi. Namun sebelum polisi datang, beberapa orang sudah menangkap Manto tepat saat ia hendak merebus mie instan. Manto ditelanjangi lantas diarak. Wajah dan punggungnya penuh darah terkena tinju dan hantaman berbagai macam benda dari warga yang marah.
Dua tahun enam bulan Manto menghabiskan waktu di dalam sel. Ketika keluar, anak pertamanya sudah berumur dua tahun. Manto sempat ragu apakah itu anaknya atau ada laki-laki lain yang ikut menitipkan benih di rahim istrinya. Ia tidak tahu saat kejadian itu istrinya tengah hamil muda. Manto tidak yakin istrinya tidak menyeleweng selama ia di dalam penjara. Ia baru menyesalinya setelah istrinya purik- pulang ke rumah orang tuanya, dengan membawa anaknya. Apalagi kemudian istrinya pergi ke Malaysia secara ilegal dan tidak pernah kembali.
“To, tunggu!” tegur Sujiono setengah berbisik.
Manto menoleh ke belakang. Kelima warga yang ia pimpin tampak saling merapatkan badan.
“Ada apa?”