Tiba di rumah Pakde Karjo, Sujiono segera mengabarkan berita menghebohkan itu. Ceritanya terputus-putus karena nafasnya tersengal-sengal setelah berlari sipat kuping- berlari tanpa tengak-tengok. Warga yang berkumpul menjadi penasaran.
“Apa kamu yakin itu Parman?”
“Apa yang dia dilakukan?”
“Mengapa kamu malah lari? Bukankah tadi tujuan kalian ke sana hendak menangkap Parman?”
“Aku...kami dicegat.”
“Dicegat bagaimana?”
“Parman tiba-tiba muncul sehingga kami tidak sempat memberikan perlawanan,” terang Sujiono yang membuat ke empat temannya yang tadi ikut ke pohon asam tua dekat kuburan, merasa lega. Bagi laki-laki, menunjukkan rasa takut kepada orang lain ibarat membuka aib sendiri. Pantang. Prinsipnya, laki-laki pemberani adalah laki-laki yang mampu menutupi rasa takutnya.
“Lalu sekarang Manto di mana?”
“Dia tidak sempat lari.”
Ketegangan merambat sempurna.
“Parman berhasil menangkapnya!”
“Jadi? Manto juga dibunuh?”
Pertanyaan itu dibiarkan menguap tanpa jawaban. Sujiono tidak berani memastikan. Demikian juga ke empat temannya. Namun jauh di dasar hati, mereka sependapat kalau Manto sudah mati.
“Bagaimana?” desak warga.