Di tengah tegalan, di bawah pohon randu Jarwo berusaha mengatur nafasnya agar tidak terlihat gugup. Matanya menatap lepas ke angkasa. Tampak bulan begitu pucat, mengapung di angkasa yang lengang. Sekilas wajah ayahnya berkelebat dalam pikiran. Wajahnya kurus dan tubuhnya sangat ringkih- rapuh. Namun dia tetap memaksakan diri untuk bekerja di sawah sebagai buruh cangkul. Jarwo tidak tahu berapa upahnya. Namun juragan Syarif terkenal kikir dan semaunya saja membayar tenaga orang. Sudah begitu, kalau ada kesalahan sedikit, tidak segan-segan juragan Syarif memaki-maki di depan banyak orang.
Jarwo masih ingat dengan jelas bagaimana suatu ketika ayahnya didamprat habis-habisan oleh juragan Syarif. Saat itu ayah pulang dari sawah sambil membawa padi yang dimasukkan dalam kaos. Rupanya salah satu ujung kaosnya diikat sehingga bisa difungsikan sebagai kantong. Belum juga ayah selesai mengelap keringat dan ibu tengah memindah padi itu ke tampah, juragan Syarif datang.
“Kamu nyolong padi ya?” tuduhnya.
“Tidak, Juragan,” bantah ayah ketakutan.
“Lah, itu apa?” tunjuk juragan Syarif ke tangan ibu.
“Saya memungutinya remahnya setelah padi dipanen…”
“Kalau kamu memunguti gabah, berarti tadi kamu tidak bekerja?!” suara juraga Syarif makin meninggi meski ayah sudah membela diri. Beberapa tetangganya keluar dan tak pelak keluarga Jarwo menjadi tontonan.
“Tidak perlu,” kata juragan Syarif ketika ibu bermaksud mengembalikan padi itu. “Karena hari ini kamu hanya munguti remah padi, berarti tidak saya bayar,” sambung juragan Syarif.
Jarwo hampir menangis melihat bagaimana ayah mencoba meminta maaf. Demikian pula ibunya. Namun juragan Syarif tidak pernah menghiraukan. Andai saya sudah besar, juragan Syarif pasti saya lawan. Sejak saat itu Jarwo ingin sekali memiliki kekuatan untuk membalas perlakuan juragan Syarif. Ia terus mengingat kenangan memilukan itu untuk mendorong semangat mempelajari berbagai ilmu yang diberikan Mbah Rono.
“Kamu harus bisa menguasai makhluk gaib. Setelah mereka kita kuasai, maka bisa kita perintahkan untuk melakukan apa saja,” kata Mbah Rono.
“Bagaimana caranya? Saya tidak kenal makhluk gaib.”