Teror Satu Malam

yon bayu wahyono
Chapter #12

Bagian #12

Tiba di pohon besar di dekat makam tua, rombongan warga dibuat kecewa karena hanya menemukan tubuh Manto yang sudah mulai kaku. Meski sudah dicari ke segala penjuru hingga masuk ke dalam kompleks lpemakaman, namun Parman tidak juga ditemukan.

“Ayo kita gotong Manto,” ujar seseorang.

“Pakai apa? Coba kalau Jiono ngomong Manto sudah mati, kan bisa kita siapkan pikulan,” sambung lainnya, menyalahkan Sujiono.

“Digotong pakai keranda saja.”

“Bagus juga. Sekalian untuk besok membawanya ke makam.”

Meski semua setuju, namun hingga beberapa saat tidak ada yang bergerak untuk mengambil keranda yang berada di cungkup- rumah kecil tempat makam pendiri kampung. Jika tidak digunakan, keranda itu memang selalu ditaruh di situ. Pernah dulu disimpan dekat surau. Namun beberapa warga bersumpah sering melihat penampakan seperti mayat bangun. Sebelum geger meluas, Pak Kyai langsung menyuruhnya disimpan di cungkup.

“Sujiono dan semua yang tadi bersama Manto, yang mengambil keranda. Kalau takut, ajak beberapa orang lagi,” perintah seseorang. Tampaknya orang tersebut cukup berwibawa. Tanpa dua kali bicara, Sujiono dan k empat temannya langsung bergerak menuju cungkup yang jaraknya lumayan jauh karena berada di tengah pekuburan.

“Ini gara-gara Manto yang sok nekad,” keluh seseorang di antara mereka setelah jauh masuk ke dalam kompleks makam tua itu.

“Sudah, jangan banyak menyalahkan orang yang sudah mati. Nanti dia bangun lagi,” bisik temannya. Meski bermaksud untuk mencegah temannya mengata-ngatai Manto, namun tak pelak nasehatnya menimbulkan ketakutan bagi yang lain. Bahkan Sujiono sampai menghentikan langkahnya. Namun ketika yang lain terus berjalan, dia pun langsung mengejarnya.

“Tunggu!” teriaknya. 

Setelah itu tidak ada lagi yang berkata-kata. Mereka berjalan dalam diam. Hanya langkah kaki dan nafasnya yang terdengar. Bunyi jangkrik dan nyamuk yang berdenging di telinga menemani mereka sampai di cungkup. Rumah kecil tanpa cat itu tampak sangat dingin. Pintunya terbuka sehingga makam yang sudah dikijing dengan batu hitam, terlihat oleh mereka. Tanpa membuang waktu, Sujiono dan teman-temannya langsung menuju samping bangunan untuk mengeluarkan keranda. Namun belum sempat keranda itu digotong, mendadak mereka memekik histeris. Sesosok bayangan hitam tampak bergerak lalu berdiri di depan pintu cungkup.

“Hantu… Tolong….!” teriak mereka sambil berlari tunggang-langgang sehingga keranda yang hendak mereka panggul jatuh, menimbulkan bunyi gaduh. Setelah lama agak jauh, mereka berhenti. Tanpa dikomando, mereka spontan menoleh ke cungkup. Bayangan hitam itu masih di sana. Mereka menjadi ragu-ragu.

“Itu bukan hantu,” bisik salah seorang.

“Betul, bukan hantu,” dukung lainnya.

“Kalau bukan hantu, lalu siapa?” tanya Sujono.

“Orang yang sedang minta togel,” jawab orang tanpa keraguan mantap. Bukan rahasia lagi jika sering ada orang yang tidur di cungkup untuk meminta segala hal, dari jodoh, rejeki sampai togel.

“Hai!” teriak salah satu dari mereka. “Siapa kamu?”

Hening.

“Kalau tidak mengaku, akan kami tangkap!” tambah Sujiono.

“Aku Badrun, No,” jawab orang di cungkup.

“Oalah...Kang Badrun,” kata mereka hampir serempak. Mereka tampak lega. Mereka pun kembali ke cungkup. Meski Badrun bukan warga di kampung Randukoneng, tapi namanya cukup kondang sebagai pencari nomer togel. Badrun dikenal pemberani karena sering tidur di tempat-tempat wingit seperti cungkup, untuk meminta nomer togel.    

Lihat selengkapnya