Seperti dihipnotis, empat orang bergerak ke empat ujung keranda dan segera menempati posisinya di belakang penggotong pertama. Kini masing-masing ujung keranda digotong oleh dua orang. Tanpa banyak bicara, keranda dan rombongan warga di belakangnya bergerak menuju kampung.
“Kita ke pohon randu tua di tanah kosong,” kata Sarjum pada Sujiono dan beberapa orang yang masih di tempat itu.
“Tapi setahuku di sana tidak ada apa-apa,” elak Sujiono.
“Kalian pasti tidak tahu, kalau tempat itu sering dipakai untuk ritual…”
“Ritual apa?” serobot seseorang, memotong ucapan Sarjum.
“Siapa yang melakukan ritual?” lanjut lainnya.
“Mbah Rono!” jawab Sarjum mantap. Tidak ada sedikit keraguan dalam ucapannya sehingga beberapa orang dibuat kaget. Mereka bahkan mundur selangkah, menjauhi Sarjum.
“Kenapa kalian ketakutan?” tanya Sarjum keheranan melihat tingkah orang-orang itu.
“Kamu pengikut Mbah Rono ya?” tanya seseorang setelah beberapa saat mereka tersekap dalam keheningan.
“Tidak...bukan.” jawab Sarjum sedikit gagap.
“Lalu dari mana kamu tahu tempat itu sering dipakai ritual oleh dukun hitam itu?”
“Aku...aku pernah minta tolong,” aku Sarjum dengan terpaksa.
Spontan beberapa orang bergerak ke depan dan berusaha untuk mencari wajah Sarjum dalam gelap.
“Siapa yang kamu santet?”
“Berapa kali kamu minta tolong sama Mbah Rono?”
“Ugh...dengar dulu,” elak Sarjum salah tingkah. Ia menyesal telah kelepasan omong. “Aku cuma sekali minta bantuan Mbah Rono...”
“Untuk?”
“Uh... Kalian curiga melulu!” kata Sarjum tak senang. “Aku ke Mbah Rono cuma minta pelet.”
“Siapa yang kamu pelet?”
“Cewek kampung sebelah,” jawab Sarjum setengah terpaksa.
“Bukan nyantet orang, kan?” desak Sujiono.
“Bukan! Aku tidak pernah menyantet orang!” bantah Sarjum ketus. “Mau tidak mencari Parman ke pohon randu?” lanjutnya.
Dengan sedikit waswas, Sujiono dan lainnya pun mengikuti Sarjum ke ladang kosong di belakang desa. Sepanjang perjalanan nyaris tidak ada yang bersuara. Mereka sibuk dengan pikiran masing-masing. Namun ada satu yang sama menyangkut Sarjum. Mereka mulai curiga jika Sarjum terlibat dalam kasus ini.
“Tunggu di sini!” perintah Sarjum ketika mereka tiba di ladang kacang. Di seberang ladang itu terdapat ladang kosong. Bahkan rimbunnya pohon randu sudah terlihat dari tempat mereka, meski samar-samar.
“Kita langsung ke sana saja,” ujar seseorang menolak perintah Sarjum. Rupanya dia curiga Sarjum tengah menyusun rencana lain. Kecurigaannya semakin menjadi-jadi ketika dilihatnya Sarjum seperti tengah memberi isyarat kepada seseorang di bawah pohon randu.
“Bukankah itu Mbah Rono?!” seru Sujiono.
“Pantesan Sarjum melarang kita langsung ke sana. Rupanya dia bersekongkol dengan Mbah Rono!” tuding lainnya. Serentak warga mengacungkan goloknya ke arah Sarjum. Karuan saja Sarjum panik dan langsung mengambil langkah seribu.