Teror Satu Malam

yon bayu wahyono
Chapter #14

Bagian #14

Namun Sujiono datang kembali ke tempat itu lebih cepat dari yang mereka duga. Wajahnya begitu riang, meski tidak ada yang bisa melihat selain menandainya dari siulan lagu dangdut yang keluar dari bibirnya. Tanda-tanda keberhasilan dalam mengalahkan teror yang menyelimuti kampung mereka juga terbaca dari sikapnya yang semakin ringan mulut. Tanpa menghiraukan perasaan teman-temannya, Sujiono langsung memerintahkan agar mereka merapat ke pohon randu tua untuk mendengarkan perintahnya.

“Cepat dikit,” katanya ketika dua orang terlihat kurang antusias melaksanakan perintahnya. Meski suaranya tetap rendah, namun semua yang mendengar pasti merasakan tekanannya. Mungkin Sujiono sudah menganggap dirinya panglima perang dan warga di situ prajuritnya. Keyakinan itu bertambah ketika Sujiono melanjutkan perintahnya,“Kita diburu waktu. Ini perang melawan musuh desa yang harus kita menangkan!”

Trimo, Jarwo dan Ijal pun ikut berdiri di depan pohon randu tua, tepatnya di depan Sujiono, untuk mendengarkan perintah selanjutnya. Sujiono semakin merasa di atas angin ketika memperlihatkan tas kresek warna hitam yang dibawanya. Seolah, itulah benda yang menasbihkan dirinya menjadi pemimpin layaknya para pemimpin jaman dulu yang memakai jimat sebagai alat pengesahannya. Bahkan Ki Ageng Pamahanan harus menggunakan kelapa muda sebagai legitimasi bahwa hanya keturunan dirinya yang berhak berkuasa di tanah Jawa.

“Apa itu?” seseorang bertanya, tak sabar. Suaranya menyiratkan rasa takut jika tiba-tiba Sujiono berubah menjadi dukun dan benda dalam plastik hitam dijadikan sarana memanggil Parman yang tengah dirasuki arwah Bawor.

“Tunggu dulu!” sentak Sujiono dengan nada berat yang dibuat-buat. “Ini sesuatu yang sangat penting, sesuatu yang akan menyelamatkan seluruh warga desa dari teror Parman.”

“Kok bau seperti arak?” sela yang lain makin tak sabar.

“Betul, ini ciu!” jawab Sujiono memecahkan rasa ingin tahu pengikutnya. Ya, Sujiono merasa dirinya sudah berhasil menjadi juru selamat dan ia layak menjadi pihak yang paling tahu atas semua hal menyangkut masalah yang terjadi di desa.

“Untuk apa? Apa kita mau pesta miras?”

“Saya tidak mau ikut-ikutan. Takut mabok,” timpal rekannya.

Sementara Ijal, Jarwo dan Trimo menatap kresek hitam yang masih dipegang Sujiono dengan rasa ingin tahu yang semakin besar. Dalam hati pun mereka bertanya-tanya, untuk apa ciu itu. Namun mereka tidak berani mengemukakan karena hal itu bisa mengingatkan orang-orang yang ada di situ jika mereka penyebab dari semua ini. Bahkan Trimo yang masih diliputi kesedihan mendalam karena bapaknya ikut menjadi korban keganasan arwah Bawor yang merasuk dalam tubuh Parman, memilih menunggu instruksi Sujiono. Ia tidak ingin kehilangan setiap kata yang yang diucapkan Sujiono. Trimo bertekad akan melakukan apapun yang diperintahkan kuli panggul pasar desa itu. Bapakku tidak mungkin hidup lagi, tapi aku harus membalaskan sakit hatinya pada orang yang sudah membunuhnya, janji Trimo dalam hati.

“Tenang saudara-saudara! Malam ini kita akan melakukan sebuah tindakan yang sangat luar biasa. Tindakan yang akan menyelamatkan seluruh warga desa dari teror Bawor...”

“Jangan diulang-ulang,” sela seseorang yang mulai kesal. “Kami semua sudah tahu cerita itu. Sekarang kami ingin tahu apa yang kamu bawa dan apa yang harus kita lakukan untuk menghentikan ulah Parman!”

“Sifat buru-buru dan tidak mau ikut aturan menyebabkan kematian seperti yang dialami Suti,” balas Sujiono dengan nada mengancam. Orang yang tadi menyela langsung ciut nyalinya. Dalam kondisi normal, ia sering membentak Sujiono di pasar. Namun sekarang ia merasa Sujiono sudah berubah. Terlebih ada benda hitam dalam kresek hitam yang belum ia ketahui. Jangan-jangan itu memang jimat penakluk makluh gaib, simpulnya sebelum kemudian bersembunyi di balik punggung temannya.

“Dengar, aku membawakan sesuatu yang sangat disukai Bawor. Jika menciumnya, pasti dia akan muncul. Nah, saat itulah kita akan menyergapnya.”

“Maksudmu yang muncul arwah Bawor atau Parman?”

“Nah, itu yang belum aku tahu. Bisa jadi mereka akan muncul terpisah.”

Suara Sujiono mengambang, meningkap malam yang sudah bergeser. Udara semakin dingin dan semua yang ada di tempat itu bisa merasakan kehadiran makhluk lain.

Tanpa sadar mereka saling merapatkan diri. Hanya ekor mata mereka yang bergerak liar untuk mencari tahu sosok makhluk yang baru hadir. Ketegangan semakin sempurna ketika beberapa hewan malam tiba-tiba keluar dari sarangnya dan bergegas pergi. Meninggalkan jerit yang menyayat. Kegelisahan memuncak karena Sujiono belum juga memberitahu apa isi kresek hitam yang dibawanya dan apa kaitannya dengan teror yang tengah terjadi akibat permainan jailangkung. Bahkan warga yang memakai kaos putih tanpa krah tampak mulai menguatkan cengkeramannya pada gagang arit yang dipegangnya. Ia ingin melawan rasa takut yang menyelimuti dengan cara menyerbu Sujiono. Beruntung sebelum niatnya terlaksana, Sujiono memenuhi rasa ingin tahunya.

Lihat selengkapnya