Sampai 15 menit setelah Sarjum meregang nyawa dan mayatnya dibawa pulang, tidak ada lagi yang melakukan tindakan. Semua menunggu tanpa tahu kapan yang ditunggu datang. Bahkan mereka sebenarnya juga tidak tahu siapa yang tengah ditunggu. Detak waktu sangat lambat, merambati tiap hati yang risau.
Sudah hampir pagi, keluh Trimo ketika mendengar kokok ayam di kejauhan. Rasa kantuknya mulai menyerang. Ia melihat Ijal sudah hampir tertidur. Bersandar pada pohon pepaya. Sementara Sujiono tetap fokus memperhatikan setiap gerakan yang terjadi di sekitar pohon randu tua. Sepertinya dia tidak mau kecolongan lagi seperti kasus Sarjum. Wajar saja kalau kemudian Sujiono menjadi pihak pertama yang melihat kedatangan Parman.
“Hati-hati,” perintah Sujiono pada warga yang ada di situ. “Parman sudah datang!”
Suasana mendadak gaduh. Trimo buru-buru meraih senjata tajamnya dan bersiaga. Demikian juga yang lain, termasuk Ijal yang langsung terbangun begitu mendengar kegaduhan. Namun setelah melihat Parman berdiri di samping pohon randu dengan parang terhunuh, semua terdiam. Hanya dengus nafas yang terdengar, berpacu melawan nasib.
“Parman, letakkan senjatamu!” perintah Sujiono.
“Aku bukan Parman!”
“Baiklah, kamu Bawor. Sekarang letakkan senjatamu. Saya sudah bawakan ciu kesukaanmu. Minumlah,” bujuk Sujiono.
Parman mendengus. Matanya melotot. Tapi begitu melihat ciu di bawah pohon randu, Parman langsung membuang senjatanya. Buru-buru ia mengambil ciu itu dan menenggaknya. Belum selesai ia minum, tiba-tiba Trimo menerjang, diikuti yang lain.
“Mati kamu!” teriak Trimo sambil menghujamkan parang berkaratnya ke punggung Parman. Namun aksi Trimo berhasil dicegah Sujiono.
“Bocah edan!” teriaknya sambil mencengkram tangan Trimo yang memegang senjata. “Tunggu perintahku!”
Aksi Trimo sudah cukup membuat Parman terusik. Dia langsung menghabiskan ciunya, lalu berbalik, berhadapan dengan Sujiono dan warga lainnya yang sudah siaga.