Terpaksa Menikahi Om-Om

Durratul Hikmah
Chapter #2

2. Di jodohkan

Hari ini Aoi selesai membereskan tempat tidurnya. Bangun lebih awal sangat baik, apalagi ia harus jalan kaki ke sekolah. 


Pintu kamarnya di ketuk. 


"Nona Aoi, sarapan di bawah sudah siap. Semua anggota keluarga Rotschild berkumpul lengkap," bu Idah sang pembantu yang bekerja 6 tahun lamanya sangat beruntung di terima kerja di keluarga besar Rotschild. 


Aoi meletakkan ponselnya di meja nakas, perutnya juga lapar ingin makan."Iya. Tunggu sebentar," Aoi beranjak dari duduknya, berjalan menuju meja makan. Pasti semua keluarganya sudah berkumpul, menunggunya datang.


Di meja makan, design mejanya memanjang seperti di istana kerajaan. Sangat sanggup mengajak satu kampung untuk makan. 


Aoi menuruni tangga. Bunyi sepatunya menarik atensi semua keluarga Rotschild. Pandangannya pun menyorot Aoi. 


Karin menatap Aoi yang berjalan dengan pelan seperti putri raja, anak tunggalnya itu benar-benar anggun."Aoi. Udah bangun sayang?" tanya Karin tersenyum senang. 


Aoi mengangguk. "Iya ma," Aoi memandangi keluarganya, dari Ayah, mama, omah, dan pria asing? Siapa dia? Kenapa harus bergabung makan disini? 


"Ma. Dia siapa? Kok makan bareng sama kita?" tanya Aoi menunjukkan ketidaksukaannya. Pasti pria itu ingin membocorkan identitas keluarganya. Apalagi selama ini ia mati-matian menutupi identitas dirinya sendiri di tempat umum atau publik.


Karin melirik Makoto yang duduk di sebelahnya."Dia itu calon suamimu sayang. Jadi lulus sekolah nanti, kalian langsung nikah aja. Kalau pertunangan dulu, yang ada kalian tidak tambah dekat. Iya kan yah?" 


Amschel mengangguk. "Apa yang di katakan mama benar. Ayo perkenalkan dirimu," karena pilihannya sendiri tidak salah, Makoto sederajat dengan Aoi baik status sosial atau pun keelokan wajahnya. Keduanya sangat cocok menurur Amschel menjadi pasangan suami-istri.


'Tampilannya aja kuno banget. Pakai kacamata. Bukan anak sekolah. Masa om-om sih? Aku ini masih sekolah! Meskipun udah lulus, melanjutkan ke pendidikan tinggi itu penting. Apa ayah gak mau ada penerusnya?' Aoi menggerutu dalam hati. Dan ia tidak akan membiarkan segala hartanya jatuh ke tangan pria itu. Enak saja huh. 


"Makoto Anekawa. Panggil saja Mako," Makoto memperkenalkan diri. Suaranya yang berat dan cool itu membuat Aoi menatapnya tak berkedip, kagum dengan gaya bicaranya. 'Bahkan aku sekali bicara saja kamu sudah jatuh cinta,' batin Makoto dalam hatinya, sudut bibirnya tertarik ke atas. Terlalu percaya diri.


"Dia ini keturunan Jepang. Pintar, dan perusahannya ada dimana-mana. Jadi ayah tidak salah memilihkan calon suami yang mapan untukmu Aoi," tutur Amschel, menambahi nilai lebih untuk Makoto agar Aoi bisa menerima perjodohan ini sesuai rencananya.


"Perkenalkan dirimu Aoi. Agar dia tau siapa calon istrinya," titah Amschel tegas. Di keluarga ini, hanya dia yang berkuasa. Tidak ada tutur kata yang lembut, tatapan yang tajam. Ciri khas Amschel Rotschild. 


"Namaku Aoi Mianami Rotschild," satu hal lagi, Aoi menutupi nama belakangnya. Publik tidak boleh mengetahuinya. Misterius dan menyendiri dari keramaian, Aoi tak suka dengan dua hal itu yang bisa menimbulkan pertanyaan lebih.


"Perkenalan bisa di lanjutkan setelah makan. Dan Makoto akan mengantarkanmu ke sekolah. Tidak ada penolakan," seakan Amschel menebak pikiran Aoi. Karena ia percaya Makoto akan mengantarkan Aoi sampai ke sekolah dan memastikannya masuk ke dalam kelas tanpa ada niat jahat seperti bolos.


'Huh, berangkat ke sekolah sama om-om? Gimana sama semua temenku? Apa yang bakalan mereka katakan nanti?' batin Aoi bertanya-tanya. Pasti hal yang tidak-tidak. Ia tak mau ia menjadi bahan gosip hangat SMA Sakura, sangat mengganggu dan tak nyaman namanya di sebut dengan hal tidak baik.


Selesai makan, Amschel menitipkan Aoi kepada Makoto. 


"Antarkan dia dengan selamat. Jangan sampai teelambat, jadi ngebut saja," ucap Amschel di setujui Makoto. Itulah mengapa ia memilih Makoto sebagai pendamping Aoi.


Aoi mendelik tak percaya. Mengebut? Gila, ini taruhannya nyawa! Aoi lebih baik jalan kaki saja daripada di antarkan Makoto. Tak apa kakinya pegal, sekolah jauh bukan berarti berangkat


Amschel mengeluarkan selembar check bernilai 20 juta. Seperti biasa uang bulanan untuk Aoi entah habis atau kurang ia akan memberikan lebih.


"Ini, uang bulanan kamu. Kalau habis, bisa pinjam black card ayah. Hati-hati," Amschel beranjak pergi. Mengurusi kantornya, apalagi menjadi direktur utama yang super sibuk. 


***


Di dalam mobil, sangat hening dan sepi. Aoi bosan, ia membaca novel digital di ponselnya dan terganyut mengikuti alurnya. 


"Nama sekolahmu apa?" tanya Makoto akhirnya berbicara setelah sekian lamanya terdiam. Rasanya bingung memulai darimana, selama ini ia tak pernah berbicara pada wanita jika itu tidak penting.

Lihat selengkapnya