Ini adalah momen terburuk dalam hidup Minah. Bagaimana tidak? Ia dijemput oleh kedua orang tuanya di sebuah pondok pesantren yang selama ini mendidiknya untuk menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Minah sangat kerasan di lembaga tersebut. Ia masih memiliki keinginan untuk mondok lima tahun lagi. Ia ingin kuliah dan juga menyelesaikan hafalan Al-Qur'an yang selama ini ia perjuangkan. Karena itulah, begitu tahu bahwa kedatangan kedua orang tuanya ke pesantren adalah untuk meminta Minah pada pengasuh atau Kiai untuk berhenti, ia sangat shock.
"Bu, katakan ini bohong," ucap Minah dengan air mata yang ia tahan.
"Ibu harap kamu sabar ya. Hutang bapak ibu sudah banyak. Orang yang membantu ibu sudah tidak bisa menunggu lagi. Kami juga sudah malu untuk memperpanjang permintaan penangguhan pembayaran," ucap Maryam, ibu Minah.
"Tapi, Bu. Mengapa selama ini bapak atau ibu tidak memberitahuku." Kristal bening yang selama ini ditahan akhirnya membasahi kedua mata Minah.
"Kami tidak ingin membebani kamu, Nak." Maryam turut menangis dan memeluk Mina. "Maafkan Ibu dan Bapak ya, Nak."
"Sudah, diam. Kita sedang di angkot. Menangisnya di rumah saja. Lagipula kamu ini anak perempuan. Tidak perlu tinggi-tinggi sekolah. Toh, hidupmu nanti ditanggung suamimu nanti," ucap Harto, bapak Minah.
Tidak ada yang mengomentari ucapan Harto. Baik Maryam maupun Minah sudah paham betul watak Harto yang keras. Sekali dibantah akan panjang urusan. Karena itulah, keduanya lebih memilih diam. Hingga akhirnya mereka tiba di rumah.
"Pak, mobil siapa itu?" tanya Maryam.
Harto sangat terkejut. Raut wajahnya terlihat tegang. Sepertinya ia mengenali pemilik mobil tersebut. Begitu mereka tiba di beranda rumah, dua orang lelaki bertubuh kekar sedang menunggu kedatangan mereka.
"Siapa kalian?" tanya Harto.
"Kami utusan Tuan Andika. Kami datang ke sini untuk menjemput Siti Aminah. Sesuai perjanjian, jika bulan ini kalian berdua tidak dapat melunasi hutang, maka putri kalian yang akan membayarnya."
Maryam sangat terkejut. Harto langsung melempar tas yang dipegangnya. Sementara Minah memeluk ibunya.
"Kalian bohong. Mana ada perjanjian seperti itu!" Harto tidak terima.
Salah satu kedua lelaki kekar itu mengeluarkan selembar kertas. Harto segera mengambilnya dan membacanya dengan seksama. Kertas itu berisi tentang surat perjanjian yang telah ditandatangani Harto bersama istrinya. Di sana tertulis jelas bahwa mereka akan menyerahkan putri mereka sebagai ganti jika mereka tidak mampu membayar hutang selama lima tahun.
Lutut Harto terasa lemas. Ia menyesal telah membuat kesepakatan tanpa membacanya dengan teliti terlebih dahulu. Tapi kondisi saat itu sangat kritis. Ia dan istrinya tidak memiliki waktu untuk berpikir.
"Pak, apa yang mereka katakan benar?" Tanya Maryam.
Harto mengangguk. Setetes air mata membasahi wajahnya. Harto yang terkenal berwatak keras dan dingin kini terlihat mengalirkan air mata penuh penyesalan.