POV Wendy.
Akhirnya aku bisa mendapatkan buku yang kuinginkan. Setelah berhasil mendapatkan sisa uang yang kuperlukan, aku kembali ke toko buku untuk membayar buku itu.
"Dapatkan Hatinya!" Itulah judul yang tertera di sampul buku berwarna merah muda di tanganku ini.
Aku sungguh tidak sabar untuk membaca lebih lanjut buku ini karena entah mengapa setelah membaca blurb menjanjikan yang tertera di belakang bukunya, aku merasa bahwa mungkin buku ini bisa membantuku untuk menghadapi Reynold.
"Tunggu dulu, orang yang Aku pinjami uang itu ... siapa dia?" Mendadak, di tengah perjalanan pulang, aku baru saja terpikirkan hal penting yang seharusnya kutanyakan pada si pemuda yang kupinjami uangnya sejak awal.
Aku menghentikan langkahku, dan langsung berbalik, berlari kembali menuju halte tempat aku meninggalkan pemuda itu sebelumnya.
"Bagaimana bisa Aku melupakan hal penting seperti itu!" gerutuku.
***
"Hah ... hah ...." Aku berusaha mengatur napasku ketika akhirnya aku sampai di halte tadi setelah sebelumnya berlari begitu sangat cepat.
Sembari membenarkan napasku ini, kuedarkan pandanganku ke sekitar halte itu, dan kudapati pemuda itu sudah tidak ada di tempat terakhir aku melihatnya.
"Keh! Tentu saja dia sudah pergi! Sial! Tadi Aku terlalu bersemangat untuk segera membeli bukunya sehingga Aku tidak sempat terpikirkan bertanya apa-apa tentang pemuda itu," gumamku sembari menyeka wajahku yang sangat berkeringat ini dengan tanganku.
Aku terdiam sembari memikirkan sesuatu, dan akhirnya aku teringat akan perkataan preman itu yang sebelumnya menyinggung tentang universitas Lione, tempat di mana aku berkuliah sekarang.
"Hah~ Well, kebetulan lainnya, sepertinya dia satu universitas denganku, sepertinya secara kebetulan juga mungkin Aku bisa bertemu dengannya lagi di kampus, dan jika saat itu tiba, Aku benar-benar akan membayar hutangku!" pikirku.
Merasa tak ada yang bisa dilakukan lagi, aku pun memutuskan untuk pulang ke apartemen, dan langsung mempelajari buku yang baru saja kubeli ini.
***
Keesokan harinya.
Hari ini kelasku ada perkuliahan jam 7 pagi, karena dosen mata kuliah ini sangat galak dan ketat dalam aturan keterlambatan, maka agar tidak terlambat, mau tidak mau aku pun harus berangkat dari apartement-ku dari jam 6 pagi.
"Hoaaaaammm ..." Aku menguap begitu panjang sembari membaca buku yang kemarin kubeli itu.
Saat ini aku sedang berada di dalam ruangan E506. Masih ada sekitar 30 menit lagi sebelum perkuliahan di mulai, sehingga karena termasuk masih terlalu pagi, hanya ada beberapa orang saja yang sudah berada di dalam kelas.
"Hm, sial! Aku masih tidak mengerti!" gerutuku. Aku sedikit kesal karena sampai sekarang aku masih tidak mengerti dengan tiap kata yang tertulis di dalam buku ini. Entah mengapa aku merasa isinya sangat rumit dan akan sangat payah jika aku benar-benar melakukan semua yang tertulis dalam buku ini.
"Aku tidak bisa membayangkan akan semalu apa Aku ketika mempraktekan semua ini pada Reynold," komentarku ketika aku baru saja selesai membaca halaman 200.
"Selamat pagi, Bella!" Terdengar suara yang begitu familier menyapa aku yang sedang sangat fokus dengan buku di tanganku ini.
Aku pun mendongakkan kepala untuk melihat si orang yang menyapaku itu. "Hm? Selamat pagi, Viona!" sahutku sembari berusaha memasang senyum padanya meski sebenarnya aku sangat lemas sekali karena mengantuk.
Gadis itu tampak terkejut, kedua matanya terbelalak ketika kutampakkan wajahku padanya.
"Ya ampun! Bella, apa yang Kau kerjakan semalaman tadi, hah!" ucap Viona dengan heboh.
"Hm? Kenapa?" tanyaku sembari bersusah payah menahan kantukku.
"Mata panda-mu sangat terlihat, selain itu, tampangmu juga sangat payah sekali-" Ia berhenti mengoceh, dan tampak bola mata gadis itu menangkap buku di tanganku.
"Buku apa itu?" tanyanya yang tampak penasaran dengan apa yang kubaca.
"He? Benarkah? Aku benar-benar tampak payah?" gumamku sembari menutup bukuku dan menyerahkannya padanya dengan lemas.
"Ya, payah sekali!" Gadis itu membaca judul bukunya dan juga sekilas membaca blurb di belakang sampul bukunya.
Pandangannya lalu beralih kembali padaku dengan alisnya yang tampak menaik setelah selesai memeriksa buku itu.
"Dapatkan Hatinya? Serius? Kau benar-benar serius ingin mengejar lelaki itu?" Viona berkata dengan nada pesimis, sepertinya ia masih ingin meyakinkanku karena memang hal yang kulakukan menurutnya adalah hal yang sia-sia saja.
"Hehehehe." Aku hanya cengengesan merespons pertanyaan meragukannya itu.
"Hah~ Kau ini ..." Gadis itu pun duduk di kursi kosong di sampingku setelah ia menghela napas panjang.
Ia tidak melepaskan pandangannya dariku, dan memandangku dengan penuh selidik.