RANTING ANGKASA
Ibu tampak mondar-mandir dari dapur ke ruang tengah untuk menyuguhkan beberapa kue, minuman, dan tumpeng.
Tidak ada tetangga yang membantu kerja Ibu kecuali aku dan kakakku. Bukan tetanggaku tak simpati atau bagaimana, tapi memang Ibu terbiasa mandiri dan selalu mengerjakan apapun sendiri.
"Lalu apa gunanya dua anak perempuan Ibu, kalau tiap ada hajatan manggil orang?" begitu ucapnya saat kutanya mengapa ia tak minta bantuan orang lain. Dibilang begitu akupun tak bisa menjawab lagi, karena sangat tepat sasaran. Aku satu-satunya anak gadis Ibu, kedua kakakku telah menikah. Tapi salah satu dari mereka telah menjanda, dan yang satunya lagi tinggal bersama suaminya.
"Kamu yakin mau mondok? Nggak malu? Kan sudah lulus kuliah, masa baru mondok?" ucap kakak keduaku, Kak Shanum yang kini hidup seorang diri tanpa suami dan buah hati.
"Bukannya nyemangatin, malah bikin surut aja!" jawabku sembari menyuir daging ayam untuk soto.
"Testing aja, kuat nggak tuh tekadnya.. Tapi, kamu nggak kasihan sama Ibu, Ran?" Kak Shanum menghentikan tuangannya.
"Aku sudah bilang sama Ibu, Kak. Dan aku pun tak boleh bekerja. Adikmu ini hanya ingin memperbaiki akhirat, syukur-syukur bisa menambah pahala Ibu, itu saja. Secara keduniawian mungkin aku memang tak tahu diri. Tapi ingin rasanya menghadiahi mahkota terbaik untuk Ayah dan Ibu kelak. Dan mengirim sedikit cahaya untuk makam ayah. Aku merasa masa laluku begitu tak terarah, terpisah dengan rahmat Allah, merasa tak berkah. Aku tahu ini terlambat, mungkin juga kalau orang-orang tahu aku mondok bakal jadi bahan gosip tetangga, yang begini lah begitu lah, aku sama sekali nggak peduli, Kak. Bukankah ini baik? Keputusanku tidak salah kan? Iya kan?" Kurasakan kerongkonganku mulai tercekat.
Kak Shanum mengusap pipinya, "Ran, Kakak bangga sama kamu." Dan akupun ikut menangis dalam pelukan dua saudara yang saling memendam perasaan yang tak bisa diartikan.
Ternyata Ibu memperhatikan percakapan kami dari awal. Dan Ibu pun tampak habis mengeluarkan air mata. "Nduk, Ayahmu dulu bercita-cita bahwa kelak anak-anaknya masuk pondok pesantren, dan kini kamu satu-satunya yang akan mewujudkannya. Jangan berpikir macam-macam, karena bisa jadi itu adalah langkah syetan untuk menahan keputusanmu nyantri." kata Ibu berusaha tegar.