AUTHOR
Ramai sekali suasana sore di Pondok Annur, banyak santri lalu lalang. Ada yang mengulang hafalan, kejar-kejaran, rebutan jatah nasi, membaca novel, membentuk konferensi meja bundar alias ghibah fisabilillah, dan masih banyak lagi, tapi meski ramai, Ranting justru bertengger di jendela kamarnya. Merasakan kesepian meskipun di luar hatinya ramai hiruk pikuk santri.
Satu bulan berlalu begitu lambat bak siput. Hidup di lingkungan yang baru, tanpa keluarga utamanya Ibu. Ranting bukan tipikal orang yang mudah menangis, tapi sore ini kali kedua ia menangis karena rindu dengan malaikat tanpa sayapnya, Ibu.
Saat di rumah dulu, ia bisa berkali-kali mencium tangan dan pipi ibunya, sekadar bercanda jodoh dan apapun itu, merasakan masakan terenak tak tertandingi, mendengar nasihat bijak dan suara melengkingnya tatkala memarahi Ranting. Ada dua hal yang membuatnya menangis, cinta dan Ibu.
Sebagai anak bungsu, bisa dikatakan ia tak bisa jauh dari jangkauan sang Ibu, tapi ia bukanlah balita lagi yang harus selalu dipantau oleh sang Ibu. Semasa kuliahnya dulu ia memang berpisah dari sang Ibu, tapi masih satu kota sehingga ia bisa pulang sepekan sekali. Sedangkan ini sudah beda kota, setara tujuh jam perjalanan jalur darat. "Ketika seseorang sudah memutuskan untuk berguru ke pesantren maka jangan sering pulang, nanti ilmunya berceceran di jalan." Begitu kata Ibu.
Usianya memang sudah melampaui kepala dua, tapi ia tetap dianggap sikecil oleh Ibu dan kakak-kakaknya, padahal sebetulnya ia ingin sekali mandiri, tidak berharap pada orang lain. Dan dengan mondok di pesantren, ia berharap bisa mandiri dan semakin baik.
Karena bagaimanapun juga seorang perempuan nanti akan menjadi istri apalagi jika nanti sudah memiliki buah hati, tentunya harus ekstra mandiri dan harus memiliki kepiawaian dalam hal apapun.
Pondok pesantren yang ia tempati tergolong terpandang, namun santrinya tidak mencapai angka ribuan melainkan hanya puluhan, dan itu khusus putri.
Dan kenyataan yang harus ia terima, ia merupakan santri tertua di pondok tersebut. Ia sempat resah karena teman-temannya jauh lebih muda dibandingnya, mungkin ada yang hanya terpaut satu dua tahun, tapi tetap saja dia yang tertua. Bahkan ustadzah yang mengajarnya kini lebih muda darinya. Sebelum diajukan ke Ibuk Nyai, santri harus dibenarkan tajwid dan makhrojnya. Dan harus ada tabungan hafalan minimal 3 juz. Ini juga salah satu yang membuatnya maju mundur, mana mungkin ia berguru pada yang lebih muda? Tapi lama kelamaan ia berhasil menyingkirkan egonya, bahkan sekelas Ali bin Abi Tholib saja bersedia menjadi budak siapapun yang telah mengajarinya suatu ilmu. Apalagi dia hanya manusia biasa yang banyak khilafnya?
"Tapi sampean gak kelihatan usia segitu lho, Mbak. Malahan kukira tamatan SMP. Apa tuh namanya? Pepes atau apa sih?" ujar salah santri yang dekat dengan Ranting, Lina. "Baby face, Lin." sahutnya sembari menahan tawa.
Di tempat singgahnya kini, ia sedikit banyak belajar mengenai hal-hal yang tidak pernah ia lakukan. Salah satunya memasak, karena jujur saja ia tak begitu pandai berkecimpung dalam dunia yang dilakukan di dapur itu, ketika di rumah ia hanya kebagian jatah memotong sayur, mengupas bawang, dan memasak air. Karena semuanya sudah dikerjakan oleh Ibu dan Kakaknya. Intinya ia kebagian kerja yang ringan saja. "Sudah, kamu kupas bawang merah sama buang tangkai cabe aja, nanti jadi tak enak kalo banyak tangan." Begitu kata Ibu saat aku menawarkan diri untuk membantunya memasak salah satu menu.