RANTING ANGKASA
Aku mengikuti Mbak Fida menuju ndalem, koridor yang kulalui tidak biasanya sependek ini. Ndalem berada di samping pondok, di samping kiri musholla terdapat pintu yang terbuat dari besi bercatkan hijau, begitu pintu dibuka langsung nampak pintu dapur ndalem.
Dan kenapa tahu-tahu sudah sampai di pintu belakang ndalem saja? Perasaanku benar-benar tidak enak, ingin aku diam-diam balik ke kamar.
Tapi pondok pesantren menjunjung tinggi etika, aku tak mungkin bertingkah seperti anak SD yang kabur ketika akan diadili.
"Mbak Ranting tunggu di sini ya, saya mau bilang dulu sama Ibuk." pinta Mbak Fida kepadaku. Ibuk yang dimaksud Mbak Fida adalah pengasuh pondok yang kutempati sekarang, ia menolak dipanggil ummi, ammi, atau yang lain. "Panggil Ibuk saja, biar terasa akrab. Kan kita tinggal di Jawa juga, lha wong ummi juga artinya Ibuk to?" ujar beliau ketika ada santri yang memanggilnya ummi. Aku mengangguk sembari tersenyum yang entah bagaimana bentuknya, sebab aku gugup luar biasa.
Bagaimana tidak? Aku baru sebulan di sini, apakah ada kelakuan dan perkataanku yang tidak layak sebagai sikap santri? Aku jadi pening sendiri, seolah-olah akan memasuki ruang investigasi.
"Masuk, Mbak. Ibuk sudah menunggu di ruang tamu. Saya tinggal ya, Mbak."
"Ehmm.. Mbak.. Mbak.." panggilku spontan tapi Mbak Fida berpaling seolah ada urusan yang lebih penting.
Aku menarik nafas dalam-dalam, ini lebih menegangkan dibandingkan ujian skripsi.
Kulewati dapur ndalem dan belok kiri, kudapati seorang perempuan yang tampak muda meski sudah memiliki 5 orang putra tengah duduk di shofa dengan Alquran merah muda di tangannya.
Selama berada di pondok ini, aku tak pernah melihatnya sedekat ini. Ia nampak begitu segar, meski satu dua guratan terlukis di wajahnya. Ia pun terlihat tegar meski suaminya kini berbeda dimensi dengannya.
Untuk sejenak aku hanya berdiri dan memandanginya. "Eh, Mbak Ranting. Mriki(ke sini), Mbak." Ialah Nyai Mariah Qibtiyah.
Nama yang indah, setahuku nama itu adalah nama budak Mesir yang dihadiahkan Muqauqis sang pemuka Mesir kepada Nabi Muhammad shollallhu alaihi wasallam.
Ia perempuan keturunan Mesir yang sangat cantik. Bahkan Mariah pun pernah dicemburui oleh bunda Aisyah, karena Nabi Muhammad sering berkunjung ke bilik Mariah semenjak budak itu milik suaminya.
Dengan Nabi Muhammad, Mariah melahirkan putra yang dinamai Ibrahim, hal itu sempat membuat Nabi Muhammad sangat bahagia karena akhirnya ia memiliki putra lagi, mengingat beliau pernah memiliki putra dari bunda Khodijah, Qasim dan Abdullah, namun keduanya wafat saat usia belia.
Tak lama kemudian, Ibrahim pun wafat saat usianya masih terbilang dini. Memang sudah menjadi takdir Allah bahwa Nabi Muhammad shollallhu alaihi wasallam merupakan Nabi terakhir dan tidak akan ada lagi penerusnya, mungkin itu hikmah dibalik wafatnya putra beliau.
Namun, berbeda dengan wanita di depanku kini. Ia berhasil membesarkan putra-putranya seorang diri menjadi generasi yang sholih berpedomankan Alquran dan Hadits. Ia sosok wanita yang tangguh, mengasuh pondok pesantren seorang diri. Itu sebabnya di sini khusus santriwati, karena pengasuhnya adalah seorang ratu tanpa dampingan sosok gagah raja.