Terpisah

L I Y A S H I N
Chapter #4

Gadis Tanpa Nama

MUHAMMAD DANIEL

"Woy, Gus metropolitan! Bengong aja dari tadi gue perhatiin." Roni mengagetkanku. Akhir-akhir ini aku memang banyak pikiran, mulai dari bisnis pondok yang ratingnya menurun, tugas kuliah, belum lagi kata-kata Ibuk sepekan lalu yang kini menjadi bayang-bayang terburuk bagiku.

Aku mahasiswa semester 4 jurusan ekonomi industri. "Biar bisnis pesantren ada yang ngurusin." Begitu kata Ibuk saat mengutarakan keinginannya bahwa aku harus mendalami ilmu bisnis. Dari awal aku tak tertarik, membuat rambut kriting saja. Tapi ini kemauan Ibuk, mau tak mau aku harus mati-matian melawan ketidaksukaanku terhadap keputusan ini.

Cukup kehilangan Bapak yang membuatnya terpuruk dan hal tersebut menjadi kesedihan terhebat bagi wanita yang melahirkanku, aku tak mau berlarut mengecewakannya.

Dan kekhawatiranku selama ini terjadi, bisnis yang dirintis Bapak dulu, kini mengalami penurunan yang sangat drastis. Bukan aku tak menguasai lapangan, hanya saja aku sudah menyerahkan semuanya pada pegawai. Aku hanya menerima laporan di akhir bulan, dan 6 bulan terakhir ini mengalami penurunan yang sistematis bahkan drastis.

Saat kutanya apa sebabnya, asisten manajer berdalih ini itu dan cukup masuk akal juga. Salahku juga tak serius dalam menanganinya.

Dan laporan itu sampai kepada Ibuk, beliau marah karena ia tahu aku main-main dalam menjalankan amanahnya.

"Terus kerjamu selama ini ngapain, Nang(nak)? Apakah proyek film lebih penting? Apakah fotografi lebih penting dibandingkan amanah Bapak?" Begitu kata Ibuk.

Seharusnya Ibuk mengerti dari awal bahwa aku tak suka dengan ekonomi dan segala tetek bengeknya. Bukankah perasaan Ibu pada anak begitu kuat? Aku hanya diam saat di marahi. Namun kurasa Ibuk mendengar suara hatiku.

"Ibuk tahu kamu tak suka dengan pilihan Ibuk, tapi tolonglah, Nak. Kepada siapa lagi Ibuk harus bergantung? Kamu ini anak sulung." Lanjutnya dengan suara yang mulai parau.

Aku jadi tak tega melihatnya bersedih, tapi aku menyukai dunia seni. Ini sangat bertolak belakang dengan apa yang Ibuk mau.

Sampai pada keputusan yang sama sekali tak kupikirkan sebelumnya. "Jika memang kamu tak mau lagi mengurusnya, Ibuk ingin kamu menikah. Setidaknya perempuan bisa ulet dalam mengelola bisnis. Masalah calonnya siapa, Ibuk yang pilih. Ibuk nggak peduli kamu punya pacar, harus manut. Kalau tidak tinggalkan Ibuk sendiri di rumah ini." titahnya yang seolah sudah diakhiri dengan ketuk palu, tak bisa dipatahkan.

Aku terkejut dengan keputusan Ibuk yang terkesan main-main, aku saja belum genap 20 tahun. Mau menikah? Yang benar saja.

Masalah dengan siapa aku menikah tak masalah, karena jujur saja aku memang masa bodoh dengan jodoh.

Selama ini tidak ada perempuan yang bisa masuk ke dalam pikiran dan hatiku, kecuali dia. Gadis tanpa nama.

Kejadiannya 7 tahun yang lalu. Aku menyukai organisasi, hidup di lingkungan pesantren sangatlah kaku. Dengan berorganisasi aku bisa menyuarakan apa yang ada dalam pikiran dan mengasah apa yang menjadi impian.

Salah satunya pramuka, ketika SD kebetulan aku salah satu dari sekian orang yang didelegasikan untuk mewakili kabupaten dalam Jambore Daerah gabungan Jawa Tengah dan DIY. Pesertanya pun dari tingkat SD hingga SMA.

Area perkemahan sangat asri, dikelilingi sawah dengan model terasering yang berwarna hijau menyala. Di mana ada sawah di situ ada sungai, meski tidak semuanya begitu, tapi rata-rata seperti itu.

Kegiatan di malam terakhir adalah Pentas Seni. Di mana pertunjukannya itu-itu saja. Tari daerah, puisi berantai, drama komedi tapi tak lucu. Sangat membosankan. Hingga aku memutuskan untuk kembali ke tenda, baru tiga langkah aku berhenti.

Lihat selengkapnya