AUTHOR
"Sini, Mas Dan." panggil Nyai Mariah seusai sholat maghrib dan berbuka. Ia berjamaah di rumah saja, wanita berkepala empat itu biasanya mengimami sholat di musholla pondok pesantren, namun petang ini badannya sedikit tak bersahabat sehingga ia sholat di rumah bersama abdi ndalem dengan Daniel sebagai imam.
Nyai Mariah memiliki sebutan bagi masing-masing putranya. Putra pertama Mas Daniel, putra kembar Bang Fatih dan Fatah, putra keempat Kak Mada, dan putra bungsu Dek Shofil.
Mereka layaknya Pendowo Limo yang gagah berani siap melindungi biyungnya.
Setidaknya mereka adalah energi terbesar yang mampu mendongkrak semangat Nyai Mariah untuk hidup lebih lama.
"Dalem, Buk.." Daniel menghampiri Ibunya yang tengah duduk di shofa. "mau disimakkan(Alquran)?" lanjut Daniel.
"Nggak, sudah disimakkan Mbak Fida tadi sore."
"Lajeng enten nopo, Buk?(Lalu ada apa, Buk?)"
"Kamu tahu tadi siapa?"
Daniel terdiam, ia tahu betul. Tapi dia memilih berbohong. "Mboten, Buk."
Ibuk tersenyum sinis seperti tak percaya. "Tapi kok dari rautmu tadi seperti sudah pernah ketemu?"
Daniel terdiam lagi, menelisik apa yang akan dikisahkan oleh Ibunya.
"Apakah kamu merasakan sesuatu?" tanya Nyai.
Daniel menggeleng, ia memang sulit berdamai dengan hatinya, gengsinya terlalu besar.
"Itu tadi namanya Mbak Ranting, Ibuk minta ia untuk membantu kerjamu dalam mengurus minimarket." terang Nyai Mariah.
"Oh," jawab Daniel singkat. Padahal ada kebahagiaan dalam hatinya, itu artinya ia akan sering bertemu dengan sosok yang dirindukannya itu, tapi tidak juga. Daniel kan sering di luar dengan kegiatannya yang berserak, "dia mau, Buk?" lanjut Daniel.
"Belum dijawab, dia butuh waktu untuk berpikir. Ibuk senaang sekali lho bertemu dengan Mbak Ranting. Santun, nampaknya juga penyabar, cerdas, manis dan cantik lagi." Ada penekanan pada kata cantik dan manis, hati Daniel berdesir. Ia hanya tersenyum sedetik kemudian datar lagi.