terracotta

Rey Lasano
Chapter #1

Partie 1 • Terracotta

Suara guntur yang menggulung-gulung di langit membuat Yuki menggigit bibirnya. Seharian ini cuacanya mendung dan berangin. Tumben, biasanya bulan Agustus panas dan kering. Yuki menunduk mengecek pakaiannya sore itu. Atasan rajut lengan pendek warna hitam hasil bongkar lemari Mami dan celana panjang jins yang digulung ke atas tumitnya. “Kalau hujan, nggak bisa gulung jins lebih dari ini. Kalau pakai celana pendek, basah dan dingin. Hngggggg….”

“Apa nggak besok aja perginya, Ki?” Mami masuk ke kamar Yuki dengan menenteng jas hujan di satu tangan dan sebuah toples kaca di tangannya yang lain.

“Justru kalau hujan paling enak duduk di Terracotta, Mi.” Yuki menghadap ke cermin panjang di belakangnya dan mengikat rambut ikal panjangnya jadi buntut kuda. Ia mencoba mengeluarkan anak-anak rambut di bagian sisinya, biar kayak artis-artis Korea. Gagal total. Mami berjalan ke belakang Yuki, setengah melempar toples dan jas hujan yang dibawanya ke atas tempat tidur Yuki. Dengan cekatan, Mami merapikan rambut anak perempuannya itu dan mulai membentuk french braid dengan kedua tangannya. Yuki nggak ngerti gimana Mami bisa secantik itu tanpa perlu usaha dan tampaknya nggak bermasalah sama sekali dengan rambut panjang hitamnya. Mami bisa sesukanya bikin messy bun dalam 30 detik dan tetep kelihatan kayak model jalan di runway peragain baju pantai. Yuki memandangi rambutnya di cermin, berantakan kemana-mana meskipun tampaknya Mami mulai bisa merapikannya.

“Terracotta buka hari ini?” tanya Mami, konsentrasinya penuh pada rambut Yuki.

“Iya, Sir Christ akhirnya pulang juga setelah tiga bulan, Mi! Katanya tahun ini dia ke Italia, pasti banyak buku-buku bagus yang dibawa pulang.” Yuki berceloteh riang dan Mami tersenyum senang melihatnya. “Cat minyak Yuki juga udah abis, jadi mesti beli lagi. Yuki udah nabung tiga bulan ini biar bisa beli stok cat minyak setahun!” kegembiraan dalam suaranya betul-betul tidak bisa ditahan.

Wakatta,” kata Mami. Mami ngerti. Wanita berperawakan mungil itu melepaskan karet rambutnya sendiri dan mengikatkannya di ujung kepangan Yuki. “Mami udah bisa cium bau hujan dari sini, pakai ya jaketnya.” katanya sambil mengambil jaket hujan dari tempat tidur dan mendorongnya ke dalam tangan itu.

Yuki mengerang. “Hujan itu…”

“…paling enak dirasain langsung sama kulit, ya, ya.” Mami kini mengambil tangan kanan Yuki dan meletakkan toples di atasnya. Yuki menunduk melihat isi toples kaca itu, madeleine buatan Mami. Madeleine legendaris dalam keluarga mereka. Sebagai pecinta kue-kue, Yuki selalu menyempatkan diri mencoba kue dan pastry kemanapun ia pergi. Dalam penjelajahannya, Yuki nggak pernah makan madeleine yang lebih enak dari buatan Mami.

“Yuki kan udah mau masuk sekolah. Kalau sakit, jadi nggak seru.”

Ada nada final di dalam kata-kata Maminya, maka Yuki menurut dan mengenakan jaket hujan biru muda itu. Jaket itu panjangnya lewat dari lutut Yuki sedikit, menutupi sebagian besar jinsnya.

Mami terlihat puas karena Yuki nurut. “Salam dari Mami buat Sir Christ. Madeleinenya kasih Sir Christ, jangan dicomot, ya. Punya Yuki ada di dapur.”

Yuki tertawa, membuka toples itu sedikit dan menghirup wangi vanilla menggiurkan dari dalamnya. “Nggak janji, ya.”

“Yuki.” Mami memperingatkan.

“Iya, Mi. Udah ah, Yuki jalan ya.”

Yuki melangkah keluar rumahnya. Tetes-tetes gerimis membasahi aspal dan tanah, wanginya menyelimuti Yuki dengan cepat. Terracotta jaraknya kira-kira 30 menit jalan kaki dari rumah Yuki di kompleks Kencana Timur. Kalau Darryl, kakak tertua Yuki ada di rumah, ia selalu maksa nyetirin adik cewek satu-satunya itu, tapi Yuki nggak pernah mau. Yuki suka rute dan ketenangan berjalan kaki. Ini bagian penting dari ritualnya ke Terracotta. Yuki datang dari keluarga besar – empat bersaudara yang kadang bisa ribut minta ampun. 30 menit jalan kaki ke Terracotta adalah waktu tenangnya, waktunya berpikir sendiri – atau nggak berpikir sama sekali dan menghirup udara segar, mengagumi bunga-bunga liar, atau seperti hari ini, merasakan titik-titik hujan mengetuk-ngetuk kulitnya. Yuki sampai di depan Terracota tepat sebelum titik-titik hujan berubah jadi guyuran air deras.

“Hai Sir Christ,” sapa Yuki sambil membuka jaket hujannya dan menggantungnya di tiang mantel antik di dekat pintu masuk Terracotta.

Seorang pria berusia tidak lebih dari 35 tahun mendongak dari mejanya. Ia mengenakan kaus putih yang dilapisi blazer kasual warna biru gelap. Rambut sebahunya diikat asal. Sir Christ meletakkan pulpen di atas kertas-kertas yang dari tadi tengah dipelajarinya dan berjalan mendekati Yuki di pintu depan. Sir Christ menarik Yuki dalam pelukan erat dan Yuki tertawa.

Terracotta bukan sekedar toko buku biasa. Toko buku itu unik dengan buku-buku yang tidak biasa. Pemiliknya, Christ, akan menutup toko bukunya selama dua sampai tiga bulan untuk berjalan-jalan ke berbagai tempat di dunia dalam rangka mengkurasi buku-buku baru. Karena alasan ini juga, kebanyakan buku-buku di Terracotta hanya tersedia satu-satu, tanpa salinan ekstra. Yuki sebetulnya tidak mengerti bagaimana caranya Sir Christ bertahan hidup hanya dengan membuka toko buku super antiknya ini. Lagian, gimana caranya Sir Christ membiayai perjalanannya? Pasti nggak murah kan untuk jalan-jalan selama tiga bulan, apalagi kalau perginya ke luar negeri. Waktu Yuki penasaran dengan hal ini, Mami bilang Yuki kepo. Darryl, kakak tertuanya, langsung setuju dan bilang, “Bukan urusan Yuki.” Selayaknya Terracotta, Christ juga seseorang yang antik. Christ hafal semua pelanggannya — nggak banyak, tapi mereka yang datang pada akhirnya selalu jadi langganan setia. Semua orang memanggilnya “Sir Christ”, pria itu punya aura elegan dan royal, meskipun gaya bicaranya super kasual. Yuki bisa membayangkan Sir Christ duduk bercakap-cakap dengan orang-orang penting, atau terbang di kelas satu pesawat udara ketika bepergian.

“Gue bawain beberapa cat dari Italia.” kata Sir Christ setelah Yuki lepas sepenuhnya dari jaket hujannya. “Oleh-oleh, nggak usah bayar.” Sir Christ memotong Yuki sebelum ia sempat mengatakan apa-apa.

Yuki nyengir dan menyerahkan toples madeleine buatan maminya. “Tapi aku tetep mau ambil cat minyak yang biasa dan lihat-lihat buku, ya. Udah ada yang baru, ya?” Yuki punya kebiasaan tidak menunggu lawan bicaranya untuk merespon. Sir Christ mengikuti Yuki yang berjalan ke barisan rak buku di tengah-tengah ruangan. Yuki sudah jadi pelanggan Terracotta dari usianya masih lima tahun. Maminya hobi membaca buku dan berteman akrab dengan Sir Christ. Saking seringnya datang, Sir Christ membuatkan pojokan baca kecil lengkap dengan kursi-kursi dan meja-meja mini, krayon, kertas gambar, dan buku-buku cerita di bagian belakang toko buku itu. Setiap tahun, Yuki tumbuh semakin besar dan pojokan itu turut berubah mengikuti perkembangannya. Sekarang, sebelas tahun sejak itu, pojokan Yuki sudah jadi Cafe Terracotta tempat Sir Christ menyajikan kopi dan es krim. Yang tidak berubah adalah kehadiran rutin Yuki di sana, selalu di kursi yang sama, dengan pesanan yang sama, dan kegiatan yang sama.

“Buku-buku baru udah gue tata di rak masing-masing. Kamu eksplor sendiri, ya.” kata Sir Christ, berbelok ke mejanya sendiri. Yuki mengangkat kedua jempolnya dan mulai menyiapkan “stasiunnya”. Cewek itu membuka gulungan kertas gambar, meluruskan sudut-sudutnya, dan mulai menyiapkan cat minyak yang baru saja diambilnya dari rak bertuliskan “Seni Lukis”. Dalam kunjungan rutinnya tiap hari Rabu ke Terracotta, Yuki selalu melukis sesuatu. Kadang kalau lukisannya selesai, Sir Christ menyukainya, dan Yuki akan meninggalkannya di Terracotta. Sir Christ biasanya akan menaruhnya dalam bingkai dan menggantung atau meletakkannya di berbagai tempat di Terracotta. Seiring berjalannya waktu, Terracotta jadi semacam galeri pameran untuk lukisan-lukisan Yuki. Sir Christ selalu bercanda dan bilang pada Yuki, kalau ada yang mau beli bingkai lukisannya, Yuki harus cari tempat lain untuk meletakkan karya-karyanya.

Yuki sudah asyik mencampur catnya ketika pintu Terracotta terbuka lagi menyambut seseorang. Sosok itu tampak kebasahan. Sir Christ mendekati pelanggan barunya itu dengan gulungan tisu kertas yang tebal. “Hari ini hujannya gede banget. Selamat datang di Terracotta,” katanya sambil menyodorkan gulungan tisu.

“Terima kasih,” lelaki muda yang baru masuk itu berkacamata bulat dan bertubuh tinggi, nyaris sama tinggi dengan Sir Christ yang tingginya hampir 180 cm. Pelanggan terbaru Sir Christ tersenyum menerima tisu tebal dari Sir Christ untuk mengeringkan tangannya.

“Santai saja. Buku-buku di rak semuanya dijual. Di belakang sana ada kafe yang kopi dan es krimnya enak sekali. Kalau butuh apa-apa, panggil saya saja. Nama saya Christ.” Sir Christ mengulurkan tangannya.

Pelanggan baru itu tengah melepas kacamata untuk mengeringkannya dengan ujung lengan bajunya. Melihat tangan Sir Christ, ia menghentikan gerakannya dengan seketika dan menyambut tangan Sir Christ dalam jabatan yang kuat. “William.” katanya.

William tersenyum sambil mengenakan kacamatanya kembali dan Sir Christ menepuk bahunya, lalu berjalan ke mejanya. William melihat sekelilingnya. Terracotta tampak tidak terlalu besar dari luar. Bangunannya sekilas terlihat seperti pondokan dari kayu, tampak terasing sendiri dikelilingi bangunan-bangunan khas kota besar di sekitarnya. Melangkah masuk ke Terracotta rasanya seperti masuk ke dunia lain. Ada wangi buku-buku tua, tidak semerbak hingga mengganggu, tapi juga tidak bisa dihiraukan begitu saja. William menarik nafas dalam-dalam dan menangkap sedikit aroma kopi juga di dalamnya. Toko buku itu cukup besar di bagian dalam, seolah-olah ketika telah melewati pintu masuknya, Terracotta menggembung begitu saja. William berdiri di ruangan persegi dengan interior rustic yang menenangkan. Unsur kayu mendominasi ruangan itu, mulai dari lantai, jendela, hingga langit-langitnya. Di satu sisi ada panel jendela besar terbuat dari kaca yang dibingkai oleh rak buku kayu setinggi langit-langit. Sofa-sofa yang nyaman dan meja-meja diatur di sekitar jendela yang menghadap ke jalan besar itu. Sir Christ menggantung beberapa tanaman dalam pot di ruangan dan hijaunya dedaunan memberi sentuhan warna di ruangan kayu yang bagi William terasa sangat hangat.

William tidak menyangka ada tempat seperti Terracotta di tengah-tengah kota, di seberang jalan besar yang sangat sibuk. Terracotta betul-betul cantik, tapi hal pertama yang menarik perhatian William adalah lukisan-lukisan yang tersebar di dalamnya. Tanpa lukisan-lukisan tersebut, Terracotta akan terlihat hanya seperti kabin kayu di pegunungan. William melangkah semakin dalam ke tengah-tengah ruangan Terracotta, matanya mengikuti bingkai demi bingkai lukisan yang ada dimana-mana. Di dinding, di meja, menggantung dari langit-langit yang tinggi, di teralis tangga spiral di tengah-tengah ruangan, di rak-rak buku, hingga di meja Sir Christ sendiri. William tersenyum sendiri, dia sedang berpikir apakah ini sebenarnya toko buku atau galeri lukisan. Gerakan dari arah belakang Terracotta memutuskan mantra yang tengah mengikat William pada lukisan-lukisan tersebut. William melangkah menuju salah satu rak buku dan mulai menarik beberapa buku dari sana.

Sementara itu, Yuki menghampiri Sir Christ di mejanya “Sir Christ, beneran bawa cat dari Italia? Aku mau coba, dong. Cat yang dipakai sama Michaelangelo bukan? Yuki tertawa.

Sir Christ ikut tertawa melihat antusiasme Yuki. “Tunggu ya, gue ambilin.”

Yuki mengetuk-ngetuk jarinya di meja Sir Christ sambil melihat berkeliling. Betapa bersyukurnya Yuki akan keberadaan Terracotta dan Sir Christ. Ketika Yuki masih lebih kecil, Yuki selalu merasa bahwa Terracotta itu luar biasa besar dan tinggi, dengan ribuan buku kemanapun Yuki menoleh. Semakin Yuki bertumbuh besar, rak-rak tinggi Terracotta tampak mengecil dan Yuki kini bisa meraih sebagian besar buku-buku di sana tanpa bantuan Sir Christ ataupun tangga. Terracotta mungkin mengecil secara fisik, tapi dengan tiap tahun yang berlalu, tempatnya membesar di dalam hati Yuki.

Mata Yuki terhenti di rak buku-buku puisi dan pada sesosok bertubuh tinggi yang tengah menelusuri buku-buku di sana. Wajahnya tampak kebingungan. Yuki berjalan mendekati satu-satunya pelanggan lain yang ada di Terracotta sore itu. Hujan masih turun dengan derasnya di luar, Yuki meringis mendengar bunyi guntur yang sesekali menggelegar. Yuki suka hujan, tapi guntur asli bikin jiper.

“Hai. Ada yang bisa aku bantu cariin?” sapa Yuki ceria. Hitung-hitung bantuin Sir Christ melayani pelanggannya, karena pemilik toko buku itu lagi sibuk cari oleh-oleh Yuki.

William yang tengah membungkuk mengambil buku dari rak terbawah menegakkan badannya dan menoleh ke arah Yuki. Untuk sesaat, Yuki kehilangan suaranya. Cowok tinggi berkulit terang yang berdiri di depannya ini mengenakan kemeja biru muda yang lengannya digulung sampai siku. Celana jeans dan sneakernya membuat tampilan cowok ini terlihat rapi namun tetap santai. Ada sesuatu pada cowok ini yang membuat Yuki tidak bisa melepaskan pandangannya. Yuki memiringkan kepalanya, seratus persen sadar ada perasaan aneh di dadanya, dan seratus persen tidak tahu apa yang sedang dirasakannya.

William juga memandangi Yuki lekat-lekat. Di kemudian hari, Sir Christ mendeskripsikan pemandangan ini dengan ‘Gue kira mereka lagi adu liat-liatan, siapa yang ngedip duluan.’

“Saya lagi cari hadiah buat kakak perempuan saya.” kata William memecahkan keheningan di antara mereka. “Ulang tahunnya minggu depan. Dia senang sekali baca puisi, tapi saya nggak tahu buku mana yang bagus.”

Yuki berdiri di samping William dan menyusuri judul buku-buku puisi di rak di depan mereka dengan jari telunjuknya. “Aku seneng buku puisi ini,” Yuki mengambil salah satu buku bersampul kulit. “John Milton, Paradise Lost. Ini epic kontroversial tentang kehidupan manusia. Dibaca berkali-kali rasanya selalu beda tafsirannya, tergantung kondisi yang lagi baca. Tapi agak berat topik bahasannya, tentang surga, neraka, kehidupan setelah kematian.”

William tertawa kecil dan mengambil buku Paradise Lost dari tangan Yuki. “Pas banget, kayaknya kakak saya bakal suka.” William membuka-buka halaman buku itu dengan hati-hati dan Yuki mengambil kesempatan itu untuk memperhatikan lawan bicaranya ini. Dari kecil, mami mengajarkan Yuki untuk selalu memeriksa hati dan perasaannya, berkomunikasi tentang apa yang sedang dirasakan. Kali ini, hati Yuki penuh pertanyaan. Ada sesuatu yang menarik Yuki pada cowok ini, secepat dan seotomatis itu, Yuki sampai takut sendiri.

Kenapa aku seperti ketarik magnet? gumam Yuki dalam hati.

“Kamu suka baca puisi?” William memecahkan konsentrasi Yuki.

“Suka banget! Kupikir puisi itu sesuatu yang sangat kuat. Bisa menghibur dan bisa kasih bimbingan melewati hal-hal sulit dalam hidup.”

“Wow.” kata William. “Oke, karena ini rekomendasi dari seseorang yang sangat suka puisi, saya ambil buku ini aja. Terima kasih, ya.”

Lihat selengkapnya