Bahkan dari depan pintu rumah, Yuki sudah bisa mendengar suara khas Darryl yang kencang. Lampu ruang makan sudah menyala dan dari balik jendela berbingkai kayu, samar-samar bayangan anggota keluarganya terlihat sedang bergerak di dapur. Waktu Yuki masuk, semerbak wangi shakshuka, makanan favoritnya di dunia ini memenuhi hidung Yuki.
Di dalam, Eren sedang membantu Mami menyiapkan meja makan. Kakaknya itu tersenyum pada Yuki yang masih berdiri di dekat pintu. Darryl, kakak tertua Yuki, berdiri melipat tangan di dada dengan setengah bersandar ke kulkas. Di sebelahnya, saudara kembarnya, Darren sedang memasak sesuatu di kompor yang wanginya juga sungguh menggoda Yuki untuk mencicipinya langsung dari panci.
"Gue nggak ngerti gimana ceritanya dua bocah ini bisa dapet beasiswa dari sekolah super fancy." Darryl menenggak jus jeruknya. "Kenapa aku nggak dapet?" Darryl memandangi Mami, minta jawaban.
"Koko Darryl punya bakat lain, kan." kata Mami
"Bakat bikin masalah. Nggak cocok masuk Notre Dame High." timpal Eren.
Darryl melempar gulungan tissue dapur ke arah Eren.
Eren menunduk untuk menghindar, "Oi, lagi pegang piring, nih!" katanya sambil tertawa dan mengangkat tumpukan piring di dadanya.
"Tolong balikin tisu dapurnya. Mau gue pake." Darren, kembaran Darryl yang cuma mirip di wajah dan bentuk fisik, tapi berbanding terbalik dalam hal kepribadian dan kelakuan, dengan kalem menggerakkan dagunya ke arah tisu dapur yang sukses mendarat di atas meja makan.
Darryl berjalan ke arah meja makan dan menyadari kehadiran Yuki yang masih berdiri di dekat pintu geser ruang makan mereka sambil tertawa memperhatikan keluarganya. "Yuki-raaaaaaahh!" setengah berteriak, Darryl menarik Yuki dan memeluknya erat.
"Ngapain berdiri di situ, Ki? Sini bantuin siapin makan malam." kata Darren. Yuki tertawa dan dengan susah payah melepaskan diri dari rangkulan kakaknya. Di atas meja sekarang sudah ada shakshuka dan masakan khas Darren lainnya, ragu daging sapi dan papardelle pasta (menu favorit Yuki #2). Dapur dan ruang makan penuh dengan aroma lezat dan canda tawa keluarga Adiraga.
"Hari ini menu favorit Yuki semua. Kerja keras, nih." Darryl mengumumkan.
"Koko kan nggak masak apa-apa." Eren meletakkan piring ke-6 di ujung utara meja, tempat ayahnya biasanya duduk. Eren berhenti sebentar saat melakukannya dan Mami tersenyum memperhatikan putra bungsunya itu. Sambil menepuk bahu putranya perlahan, Mami menyalakan lilin-lilin, dimulai dari lilin di depan piring yang masih dipegang Eren. Mami kemudian berjinjit dan mengecup pipi Eren dengan cepat. Anaknya itu sudah jauh lebih tinggi darinya.
"Heh, gue juga potong bawang." Darryl kesal. "Eren nggak —"
"Oke, makan malamnya udah siap!" Darren memotong Darryl, memegang mangkuk besar berisi sup krim bawang di tangan kanannya, dan talenan kayu cantik milik mami di tangan kirinya, sekarang penuh dengan garlic bread panggang yang baru keluar dari oven. Darren mendorong talenan itu ke dada Darryl dan berjalan ke arah meja makan.
"Ayo semuanya duduk." kata Mami.
"Ko Darren, mewah banget makan kita hari ini." Yuki tertawa sambil menggeser kursinya. "Ngerayain apa?"
Ruang makan itu tiba-tiba jadi hening. Dengan wajah serius, Eren menjawab Yuki, "Mami sebenernya diem-diem mau ngirim kamu ke sekolah asrama di pegunungan nggak bernama. Hari ini pesta perpisahanmu."
Yuki melongo, cewek itu yakin mulutnya terbuka lebar, kaget dan bingung. "Gimana?" tanya Yuki.
Ruang makan itu hening selama beberapa detik sebelum semua orang tertawa nyaris bersamaan. Semua, kecuali Yuki.
Darryl tertawa begitu kencang sampai mengeluarkan air mata. "Dek, kamu itu kok ketipu terus sama bercandaannya Eren?"
Yuki merengut. Sebel. Lelucon ataupun tidak, ada alasan kenapa Yuki percaya alias ketipu terus sama Eren. Keluarganya — orangtuanya, bukan orangtua biasa. Suatu hari, Eren kedapatan menyisakan makanannya. Ketika ini berlangsung terus selama seminggu, Mami dan Papi memutuskan untuk membawa mereka semua "liburan". Liburan ternyata adalah meninggalkan ke-empat anak-anaknya di sebuah desa peternakan swasembada, peternakan dimana aspek kehidupan masyarakat disokong penuh oleh usaha masyarakat itu sendiri. Makan hasil panen tanaman sendiri, minum dari air gunung yang ditimba sendiri setiap hari, memasak dengan kayu api yang dikumpulkan sendiri dari hutan, dan lain sebagainya. Menyenangkan sih, tapi kerja keras luar biasa. Buat anak-anak kota seperti Darryl, Darren, Eren, dan Yuki, hari-hari pertama sama sekali nggak menyenangkan. Bisa-bisanya Mami dan Papi ninggalin mereka selama tiga minggu penuh, di saat libur Lebaran, libur sekolah terpanjang yang mereka punya. Waktu ditanya kenapa Darryl, Darren, dan Yuki jadi ikut-ikutan kena, Mami dan Papi cuma menjawab "supaya kalian kompak dan belajar saling jaga satu sama lain."
Sepulangnya dari "liburan" itu, nggak ada satupun dari mereka yang buang-buang makanan lagi, sebutir nasi sekalipun. Kata Darren, liburan itu juga yang menginspirasinya menjadi koki. Terlepas dari semua nilai-nilai positif dari keunikan gaya mengasuh anak ala Mami-Papi, ada satu hikmahnya:
nggak ada yang nggak mungkin bagi Mami-Papi. Semakin aneh idenya, semakin mungkin terjadi.
Jadi, kalau tiba-tiba Yuki dikirim ke sekolah asrama di kaki gunung, dalam keluarga Adiraga itu mah normal.
Darryl belum juga selesai tertawa. "Bercanda, dek. Nggak ada yang mau ngirim kamu ke gunung, koko nggak akan biarin itu terjadi." Kalau dipikir-pikir lagi, Darryl sebenernya sweet banget ke Yuki, cuma karena saat ini dia mengatakan kalimat manis itu sambil tertawa terbahak-bahak, Yuki jadi dongkol.
Darren si kalem berusaha keras tidak mengikuti jejak saudara kembarnya untuk tertawa terbahak-bahak, meskipun senyumnya sudah ikut mengembang. Mami yang duduk di sebelah kanan Yuki menyentuh tangannya perlahan, "Ini untuk ngerayain lembaran hidup baru, jadi anak SMA!"