Di hari pertama masuk Notre Dame High, Eren berulang kali mengingatkan Yuki untuk membawa sweaternya. Kata Eren, pendingin udara membuat dinginnya hawa di kelas menusuk sampai ke tulang. Yuki rasa-rasanya nggak bisa percaya, Jakarta aja panasnya 34 derajat celcius, siapa juga yang mau pakai sweater lagi? Ranselnya udah penuh dengan buku-buku dan berbagai perlengkapan lainnya, sweater cuma akan bikin tambah berat.
"Ya udah, pokoknya aku udah ingetin." kata Eren. "Jangan nyesel, ya." tambah Eren lagi, matanya masih setengah berusaha meyakinkan Yuki.
Yuki tetap pada pendiriannya.
Hari itu, Darryl mengantarkan mereka ke sekolah. Matanya masih setengah tertutup ketika cowok jangkung itu mengambil kunci mobil dari atas meja, rambut sebahunya berantakan. Darren yang sedang membantu Mami mencuci piring-piring sarapan menoleh dan menggumamkan "Jangan bikin ribut di sekolah" ketika ketiga saudaranya satu per satu keluar dari ruang makan menuju garasi. Mami menyodorkan tumblr kopi pada Darryl dan kotak bekal untuk Yuki dan Eren. Ketiganya memeluk Mami sebelum berangkat. Sambil bergantian masuk ke mobil, Yuki tertawa melihat Darryl. Kakaknya yang satu itu biasanya paling lantang kalau bicara, tapi pagi ini ia justru tidak mengatakan apa-apa, lebih sibuk mengacak-acak rambutnya yang sudah berantakan. Menurut Yuki, Darryl kelihatan lebih keren dengan rambut acak-acakannya. Tapi kakaknya itu nggak percaya, selalu pakai gel atau produk-produk rambut lainnya buat menata rambut.
40 menit kemudian, Darryl berhenti di pinggir jalan sesuai permintaan Eren dan Yuki. "Jangan bikin ribut di sekolah." katanya menirukan saudara kembarnya. Eren dan Yuki tertawa saat mengucapkan terima kasih dan keluar dari mobil. Di antara kakak-beradik Adiraga, yang paling mungkin bikin ribut karena emosian ya justru Darryl. Suasana sekolah sudah mulai ramai waktu Eren dan Yuki berjalan memasuki gerbang tinggi Notre Dame High. Murid-murid sekolah itu tampak bergerombol dalam kelompok-kelompok kecil, tertawa, saling menyapa satu sama lain, dan bergerak memasuki halaman sekolah. Yuki sekilas menangkap pembicaraan tentang serunya semester baru, ketua OSIS baru yang keren dan terpilih untuk masa tugas tahun ini, rencana outing di akhir semester, sampai roti terbaru di Lapaz.
Yuki mengerutkan keningnya. "Lapaz apa sih, ko?" tanya Yuki setelah kesekian kalinya mendengar nama "Lapaz" didengungkan oleh orang-orang di sekitarnya.
Eren menunjuk ke arah balkon lantai dua. "Yang temboknya biru tua sendiri itu. Itu Lapaz Bakery. Mereka jualan roti dan pastry, selalu manggang kue sekitar jam 10 -12 siang, wangi banget kalau jalan di lorong itu." jelas Eren.
"Kamu kayaknya bakal suka salted bread nya, Ki." Eren menambahkan.
"Ada madeleine juga?" tanya Yuki. Matanya masih tertuju pada balkon biru tua itu.
Eren mengangguk.
"Enak mana sama punya Mami?"
"Kalau madeleine Mami itu susah dikalahin, anggep aja nggak ada yang bisa nandingin."
Yuki nyengir dan sekarang ganti melihat ke sekelilingnya. Semua murid mengenakan seragam lengkap Notre Dame High. Menurut Eren, seragam selengkap itu cuma dipakai dua tahun sekali, di upacara pembukaan semester baru dan penutupan semester lama.
"Sama kalau ada guru atau kepala sekolah yang meninggal." tambah Eren. "Belum pernah kejadian sih selama aku di sini."
Ketika melewati sebuah pintu kaca besar, Yuki menangkap refleksi bayangannya sendiri di sana. Ia mengenakan kemeja lengan pendek putih dengan emblem Notre Dame High di saku kirinya. Di atas kemeja itu, ada blazer hitam rapi dengan kancing putih di tengah-tengahnya. Rok lipitnya bermotif kotak-kotak tartan, dengan tiga warna: biru-putih-merah, warna bendera Perancis. Waktu Eren masuk Notre Dame High dua tahun lalu, Yuki bertanya apakah boleh siswa sekolah Indonesia mengenakan bendera Perancis sebagai atribut seragam di wilayah Indonesia. Eren menjawab bahwa sekolah swasta bebas menentukan peraturannya sendiri, apalagi sekolah swasta kaya seperti Notre Dame High. Baru-baru ini ketika mengulang kembali percakapan tersebut dalam pikirannya, Yuki baru menyadari bahwa Eren mungkin juga tidak begitu suka masuk ke Notre Dame High.
Yuki menunduk memeriksa kakinya. Ia mengenakan kaus kaki abu-abu hampir setinggi lututnya. Menurut Yuki, seragam sekolah ini kelewat mewah. Sampai jengah sendiri mengenakannya. Dengan agak gugup, Yuki berjalan sambil membetulkan ikatan dasi pita di lehernya berkali-kali. Dasi itu punya motif yang sama dengan roknya.
Eren melirik adiknya, kemudian merogoh saku celana panjangnya. "Ini jangan lupa." katanya sambil menyodorkan pin Notre Dame High dan menyentuh kerah lehernya sendiri. "Pakai di kerah kanan, yang ini harus dipakai setiap hari."
“Makasih.” kata Yuki. Mereka melintasi lapangan utama di tengah-tengah sekolah dan tepat saat ia akhirnya berhasil menyematkan pin di kerah kanannya, mata Yuki menangkap sesuatu — seseorang.
Nyaris tidak mempercayai matanya sendiri, Yuki tersenyum senang. William, William yang dikenalnya di Terracotta, sedang berdiri tidak terlalu jauh darinya. Sekelompok murid kelas 3 sedang berjalan mendekati cowok itu. Yuki bergerak menjauhi Eren, ingin melihat lebih jelas dan memastikan bahwa ia tidak salah lihat. William menyandang ransel hitam di bahu kirinya dan tampak sedang memegang buku catatan di tangannya. Ia mengenakan sweater abu-abu di atas kemejanya.
"Ki, yang itu kelas a..."
Eren tidak sempat menyelesaikan kata-katanya, karena adik perempuan satu-satunya itu tiba-tiba berlari cepat, nyaris seperti tengah dikejar sesuatu yang menakutkan. Kedua alis Eren terangkat tinggi ketika melihat kemana - ke arah siapa si bungsu itu berlari.
Oh, no. batin Eren.
Punggung William yang kini membelakangi Yuki tampak bidang dan tiba-tiba saja, rasa lega menyelimuti Yuki.
Aku bener-bener nggak sendirian, aku akan baik-baik aja.
Sebelum Eren sempat mencegahnya, Yuki menarik lengan William.
"William, kamu di sini juga?"
Yang terjadi berikutnya berlangsung kurang dari 30 detik, tapi bagi Yuki waktu seperti terhenti dan segalanya mengalir dalam gerakan lambat.
Begitu banyak yang terjadi secara bersamaan:
William berhenti berjalan dan menoleh ke arah Yuki, terkejut karena ada orang yang menarik lengannya, tapi wajahnya berubah senang ketika melihat Yuki.
Yuki yakin William sempat tersenyum.
Serombongan murid yang tadinya sedang bergerak santai ke arah William melompat hampir berbarengan, melepaskan tangan Yuki dari lengan William dengan begitu cepat dan berdiri membentuk dinding di antaranya dan William.
Yuki kehilangan keseimbangannya, badannya limbung ke belakang, namun kakinya menemukan pijakan sehingga ia tidak sampai terjatuh. Tanpa betul-betul menyadari situasi di sekitarnya, Yuki mengabaikan gerombolan yang sudah siap menerkamnya dan mencari-cari mata William. Seseorang menarik soso William menjauh darinya, nyaris seperti diseret ke arah yang berlawanan.
Gerombolan murid-murid kelas tiga SMA Notre Dame High berbicara - berteriak secara bersamaan, semuanya mengucapkan kata-kata semacam "Elu siapa!?" dan "Berani banget, anak kelas satu!". Yuki hanya setengah mendengarkan, matanya masih mencari-cari William.
Eren dengan tenang berdiri di depan Yuki, memisahkan gerombolan haus darah itu dari adiknya. Hatinya geram melihat Yuki sudah sangat dekat dengan celaka. Eren menenangkan teman-teman seangkatannya, bergumam "Ini adek gue, dia baru." dan gerombolan itu pun akhirnya melepaskan diri dari Yuki dan Eren. Seorang gadis tinggi dengan rambut cokelat yang dipotong pendek gaya pixie tidak melepaskan tatapan tajamnya dari Yuki. "Perhatiin adikmu, Eren. Ajarin yang bener." katanya gusar.
Eren menarik nafas pelan beberapa kali. Ia kemudian berbalik menghadap Yuki, memegang kedua bahu adiknya itu dan mengguncangnya. Cukup erat untuk menyadarkan si bungsu, tapi tidak kasar.
"Yuki. Kamu ini ngapain?" Eren menggunakan nada bicara seorang kakak. Eren dan Yuki hampir sepantaran, usia mereka tidak terpaut jauh, tidak seperti Yuki dengan Darryl dan Darren. Dengan sendirinya, Yuki lebih dekat dengan Eren dibanding kedua kakaknya yang lain. Eren nyaris selalu memperlakukan Yuki seperti teman sebaya dan jarang menggunakan nada memperingatkan selayaknya kakak yang lebih tua.
Mendengar ini Yuki akhirnya berhenti mencari-cari William dan menatap kakaknya. Seperti baru tersadar dari mimpi - dan bahkan belum tersadar sepenuhnya, Yuki dengan susah payah memfokuskan pandangannya pada Eren. "Apa, ko?"
"Kamu kenapa narik tangan Awe kayak gitu?" Kedua tangan Eren masih memegang bahu adiknya.
Awe, Yuki menyebut nama itu dengan pelan dalam hatinya. "Siapa?" tanya Yuki.
"Awe." Eren mengulang nama itu. "Singkatan dari Andre William, ketua OSIS Notre Dame High."
Yuki seperti melayang. "William ketua OSIS-nya Notre Dame."