Di ruang OSIS, William duduk dan menelusuri sebuah daftar panjang di kertas yang tengah dipegangnya. Sebagai ketua OSIS Notre Dame High, William harus memberi rekomendasi budgeting untuk tiap-tiap klub resmi di sekolah. Klub olahraga jelas-jelas adalah klub paling populer, tapi tahun ini, William ingin rasanya memberikan perhatian lebih pada klub-klub lain seperti teater, paduan suara, dan seni.
"Siapa si kecil itu?"
William, mengenali suara Michael Gandawasa, tidak mendongak ketika sahabatnya itu bertanya.
"Hmmm..." William bergumam.
Michael, si wakil ketua OSIS yang belum juga tergerak untuk membantu William sama sekali dengan tugas-tugas ke-OSIS-an, berdiri bersandar di pintu masuk ruangan itu.
"Awe." Michael melompat ke depan William ketika tidak juga mendapatkan jawaban dan menarik kursi di depannya.
"Apa?" tanya William.
"Siapa si kecil itu?" Michael nyaris cekikikan sendiri.
Ini membuat William melepas pandangan dari kertasnya dan ikut tertawa. "Siapa?" William balik bertanya, masih sambil tertawa.
"Si kecil yang dengan inosennya narik tangan loe tadi pagi di depan taman utama." kata Michael sambil menggelengkan kepalanya dengan geli. Michael sudah bersekolah sejak SMP di Notre Dame dan seumur-umur nggak pernah lihat ada anak kelas bawah dengan lugunya narik tangan kakak kelasnya. Senioritas sudah jadi ciri khas Notre Dame dan Michael selalu berasumsi bahwa semua orang tahu akan hal itu. Tambah lagi, yang ditarik tangannya bukan kakak kelas biasa. Di depan gerombolan anak-anak kelas tiga yang lagi nungguin William (kemungkinan besar mau bermanis-manis dengan William, berharap diperhatiin sama keluarga Clermont-Forbin), pula. Bener-bener kayak anak kijang jingkrak-jingkrak ke dalam sarang singa.
William menunduk lagi memandangi kertasnya, tapi pikirannya sepenuhnya kembali pada kejadian tadi pagi. Momen waktu Yuki menarik tangannya, William merasa nggak bisa bergerak ketika melihat ekspresi wajah Yuki. Ekspresi bahagia yang tulus dan asli, begitu bahagia sampai-sampai wajahnya kayak bercahaya. William nggak inget terakhir kali seseorang yang bukan keluarganya sesenang itu melihatnya. Setulus itu. Sebuah pikiran nggak masuk akal melintas di bayangan William: ia ingin mendekap momen itu lebih lama. Menangkap dan mengabadikan ekspresi wajah Yuki pagi itu, memasukkannya ke dalam kotak kayu, lalu menyimpannya di tempat yang aman.
"La lumière." kata William. The light. Cahaya.
"Hah?" Michael bingung.
"Si kecil itu." kata William lagi. "La lumière."
Michael melongo sebentar sebelum akhirnya mengerti maksud sahabatnya dan meledak dalam tawa. "Oh."
"Ooooh." Michael memukul pelan meja di depannya.
Empat belas tahun berteman sama Andre William, ini kali pertama Michael melihat sahabatnya itu naksir sama seseorang. Michael mendorong bahu William. "Ini bakal jadi tahun paling menarik di Notre Dame High."
Monsieur Lee, wali kelas sekaligus guru Matematika Yuki dan Diana adalah seorang pria tinggi dan kekar, dengan wajah galak dan rambut yang hampir botak. Penampilannya dilengkapi kacamata bujur sangkar yang menurut Yuki kelihatan keren. Ada bekas luka di pipi kanannya,memanjang dari sisi hidung sampai ke telinganya. Di jam pelajaran ke-5 setelah istirahat makan siang, Monsieur Lee memasuki kelas dan dengan suara berat, menenangkan kelas yang ribut saat itu.
"Bonjour. Tadi pagi saya sempat bilang kalau di kelas itu semakin rame, semakin seru. Jadi saya mau kenalin anggota terakhir dari kelas 10A."
Ruang kelas seketika berdengung lagi ketika seorang murid memasuki kelas.
"Ini Renaldi Fitzgerald. Sapa dulu teman-teman sekelasmu, Renaldi."
Renaldi tampak bosan. "Hai."
Yuki jadi bingung mendengar nama belakang Renaldi. Nama belakangnya sama kayak Diana. "Di," bisik Yuki pelan sambil mencondongkan badannya ke arah Diana. Diana memundurkan kursinya untuk mendengar Yuki dengan lebih jelas.
"Fitzgerald itu nama marga yang umum di Perancis?" tanyanya.
"Nanti aku jelasin, ya." Diana balas berbisik pelan.
Yuki ganti memusatkan pandangannya pada Renaldi. Sekilas lihat, Renaldi ini tipe yang bakal langsung cocok sama Ko Darryl, tapi bakal dipelototin dingin sama Ko Darren. Cowok itu berambut potongan crew cut, dengan bagian atas rambutnya dibiarkan agak panjang dan ditata dengan gel. Renaldi punya garis rahang yang tinggi dan kokoh, sama sekali nggak kelihatan kayak anak SMU pada umumnya, dia kelihatan lebih tua. Lebih pantas disebut sepantaran Darryl-Darren, 6 tahun di atas Yuki. Matanya biru elektrik, persis mata Diana. Yuki berusaha mencari kata sifat untuk menggambarkan Renaldi, dan kata pertama yang muncul di benaknya adalah BUSET CAKEP BANGET INI ORANG.
Oke, itu lebih dari satu kata, tapi Yuki bener-bener nggak pernah ketemu manusia secakep Renaldi di dunia nyata. Wajah seperti Renaldi harusnya eksis di layar kaca, sebagai bintang film atau model, bukan di sini, di kelas Yuki. Renaldi sendiri nggak kelihatan tertarik berada di kelas saat itu dan seperti nggak menyadari cewek-cewek kelas 10A pada melongo melihatnya, terhipnotis. Yuki merasa ada figur publik lain yang mirip banget sama Renaldi. Siapa ya, namanya?
Yuki memperhatikan Renaldi dengan lebih detail lagi sekarang. Meskipun cakep, Renaldi ini kelihatan berantakan banget. Seragam Notre Dame High adalah seragam formal jadi kalau nggak dipakai dengan benar, langsung kelihatan berantakannya. Renaldi tidak mengenakan blazernya (Yuki sendiri juga udah copot sih, berat). Telinga kiri Renaldi ditindik dan ada ujung tato yang menyembul di bagian dalam sikunya, pas di bawah lengan kemeja putihnya - tatoan dan ditindik, nggak apa-apa tuh?? Yuki nggak habis pikir.
Monsieur Lee melihat ke sekeliling kelasnya, mencari tempat duduk untuk Renaldi dan pandangannya terhenti pada Yuki yang tengah memijat keningnya sendiri sambil menutup mata, berpikir keras.
Ah! Zayn Malik, itu dia nama artis yang mirip sama Renaldi.
"Renaldi, kamu bisa duduk di sebelah Yuki. Yang akur, ya." kata Monsieur Lee.
Yuki, membuka mata perlahan mendengar ucapan Monsieur Lee. Sekali lagi ia merasa mata seisi kelas tertuju padanya. Mata-mata yang nggak begitu ramah, seolah-olah menuduh Yuki melakukan sesuatu sehingga si Zayn Malik, eh, Renaldi ini jadi duduk di sebelahnya. Gimana ceritanya sih si Zayn Malik wannabe ini jadi duduk di sebelahnya? Tapi, Zayn Malik bukan masalah terbesar Yuki. Dia juga baru aja ketemu pangeran Perancis di sekolah ini. Yuki menarik nafas dalam dan memijat keningnya lagi. Hari ini betul-betul ajaib.
Renaldi menarik kursi di sebelah Yuki dan duduk di sebelahnya.
"Hai." sapa Yuki ramah. Biar bagaimanapun juga, papi mami mendidiknya jadi anak yang sopan.
Renaldi tidak mempedulikan sapaan Yuki.
"Hai, namaku Yuki. Salam kenal, ya." mungkin si ganteng ini budeg.
"Loe mau gue sapa secara pribadi? Segitunya pengen disapa?"
Hah. Yuki nggak percaya pendengarannya sendiri.
"Yah, bukan kali pertama, sih hari ini. Tadi pagi juga dia main peluk kak Andre William."