Sabtu pagi perlahan-lahan memudar dari Terracotta. Di luar masih mendung, potongan-potongan awan tebal dan gelap menyelimuti daerah itu. Yuki memilih untuk duduk di dekat jendela, sedekat mungkin dengan gerimis yang turun dengan lembut. Titik-titik airnya memberi efek kabur pada pemandangan di luar. Secangkir cappuccino buatan Sir Christ ada di depannya, masih mengeluarkan asap tipis. Karena hujan, Terracotta jadi sedikit lebih dingin dari biasanya. Yuki menempelkan tangannya di kedua sisi cangkir supaya tetap hangat. Hari itu, Yuki tidak melukis. Dia juga tidak banyak bicara, sesuatu yang sangat aneh menurut Sir Christ. Biasanya udah diminta diem juga Yuki masih nggak bisa berhenti ngomong.
Melihat ini, Sir Christ memutuskan untuk tidak mengatakan apa-apa dan membiarkan Yuki diam dalam dunianya sendiri. Sekitar satu jam kemudian, William masuk ke Terracotta. Ketika mata mereka bertemu, Sir Christ mengangguk ke arah Yuki di dekat jendela.
"Hai, Ki." sapa William sambil menarik kursi di depan Yuki. "Saya boleh duduk di sini?"
"William, kenapa nggak bilang kalau kamu itu ketua OSIS Notre Dame?" semprot Yuki langsung, tanpa basa-basi. Setengah marah juga, kenapa William membiarkan Yuki masuk sekolah dengan tidak tahu apa-apa? Kenapa nggak bilang dari awal kalau mereka akan sekolah di tempat yang sama?
"Saya pikir topiknya nggak relevan sama obrolan kita waktu itu."
Yuki mengingat-ingat pembicaraan mereka minggu lalu. "Katanya kamu gugup."
William mengangguk. "Banget."
"Yang kamu bilang tentang tugas dan tanggung jawab baru, itu maksudnya tentang jadi ketua OSIS?"
William mengangguk lagi, kali ini sambil duduk di depan Yuki. "Iya. Saya nggak yakin apa yang harus saya lakukan duluan sebagai ketua OSIS."
Yuki terdiam untuk beberapa saat. William yang ada di Terracotta saat ini adalah William yang sama dengan yang ditemuinya minggu lalu. William yang tenang, rileks, dan nggak diikuti rombongan siswa lainnya ke sana kemari. Yuki menggigit bibir bawahnya. Di Terracotta, nggak ada kakak kelas atau murid lainnya yang melototin Yuki. Mungkin ini waktu dan tempat yang aman untuk mengonfirmasi segalanya.
"Jadi..." Yuki memulai.
William yang sedari tadi memandangi jari-jarinya sendiri mendongak dan tersenyum pada Yuki. Melihat ini, wajah Yuki langsung berubah merah. William masih menariknya seperti magnet, sama seperti waktu mereka bertemu untuk pertama kalinya, bahkan ketika saat ini Yuki sedang kesal. "Umm... keluargamu punya bendera panji perang, simbol keluarga, dan datang dari keturunan raja-raja?" Yuki mengulangi informasi yang didapatnya dari Diana.
"Simbol keluarga ada. Kalau soal keturunan raja saya nggak yakin, udah terlewat terlalu banyak generasi." jawab William.
Yuki mengedipkan matanya berkali-kali. Nggak ada tuh, kenalannya yang punya simbol keluarga resmi segala. "Kamu ini siapa?" tanya Yuki.
"William."
"Bukan, kamu yang sebenernya itu siapa?" ulang Yuki.
"Saya juga masih cari tahu, Ki." William tertawa kecil. Ketika Yuki hanya membalasnya dengan senyuman, William menarik nafas dalam-dalam, seolah-olah akan mengatakan sesuatu yang berat. Seolah-olah kalau bisa, ia ingin menghindari topik ini. "Nama saya Andre William. Papa saya dari keluarga Clermont-Forbin."
William merogoh saku jeans dan menarik keluar kunci mobilnya. "Ini lambang keluarga Clermont-Forbin." ketika ia membuka telapak tangannya, alih-alih logo merk mobil, Yuki bisa melihat sebuah simbol asing tercetak di kunci mobil itu. Simbolnya berupa perisai merah. Di bagian tengah perisainya, ada wajah singa yang gagah dengan dua buah kunci putih yang saling bersilangan di bawah dagunya.
Mata Yuki dipenuhi rasa ingin tahu. Dengan jari telunjuknya, Yuki menyentuh lambang keluarga Clermont-Forbin di atas telapak tangan William. Perlahan-lahan, ia menelusuri garis terluar perisainya. Sementara Yuki tengah fokus memandangi kunci itu, William menatapi Yuki dengan pandangan terpesona yang sama ketika untuk pertama kalinya ia bertemu dengan Yuki di Terracotta. Sadar penuh akan gerakan jemari Yuki di telapak tangannya - rasanya seperti semua indera dan sensasi tubuh William terpusat pada satu titik saat itu; di telapak tangannya. Kalau Yuki menekan jarinya lebih dalam ke telapak tangannya, bisa-bisa William meledak. Tidak pernah sekalipun ia merasa seintens itu sebelumnya.
Sir Christ lewat di belakang mereka sambil membawa tumpukan buku di tangannya dan batuk-batuk kecil. Yuki dan William secara refleks memperbaiki posisi duduk mereka, menjauhkan diri dari satu sama lain.
"Nenek dan Mama saya orang Indonesia." William menambahkan detail tersebut sambil ikutan batuk-batuk seperti Sir Christ, canggung.
Yuki mengerutkan keningnya. Dari tadi ada sesuatu yang berbeda pada cara William berbicara ketika ia mengucapkan nama belakangnya. Logat yang sama juga didengar Yuki minggu lalu ketika William mengucapkan "selamat ulang tahun" dalam Bahasa Perancis.
"Berarti William warga negara Perancis?" tanya Yuki.
"Saya punya dua kewarganegaraan dan harus pilih salah satu di ulang tahun ke-21 nanti."
"Kamu bisa Bahasa Perancis?"
"Iya."
"Dan keluargamu punya simbol keluarga sendiri?"
"Iya."
"Keluargamu adalah salah satu keluarga tertua di Perancis?" Di dalam kepalanya, Yuki sedang menyusun semua fakta dan berusaha memahami hal ini.
"Mm-hm." jawab William sabar.
Kali ini gantian Yuki yang menarik nafas dalam-dalam. "Keluargamu punya istana di Perancis?" lagi-lagi Yuki menanyakan informasi yang didengarnya dari Diana.