"Aku nggak ngerti kenapa malah aku yang kena hukumannya Madame Marlina. Kan Renaldi yang cari ribut." Yuki mengangkat cangkir cappuccinonya, tapi langsung meletakkannya lagi karena ternyata isinya sudah habis. "Will, Madame Marlina ngeliatin Renaldi sambil senyum-senyum kesengsem gitu, terus malah marahin aku." Yuki masih berapi-api cerita sama William.
William bergumam "hmm" singkat kemudian menempelkan punggungnya ke sandaran sofa, membiarkan Yuki tetap meluapkan kekesalannya.
"Nggak adil dan aneh banget. Padahal aku udah klarifikasi jelasin permasalahannya."
"Itu salah satu yang lagi saya pikirin. Gimana ya caranya supaya Notre Dame High bisa lebih baik, lebih adil, dan nggak ada senioritas lagi?" kata William.
"Hmmm... bikin peraturan baru?" usul Yuki. "Atau bikin KPK!"
Kening William berkerut tapi ekspresi wajah Yuki membuatnya ingin tertawa. "Apa itu KPK?"
"Komisi Pemberantasan Kesenioritasan!" Yuki melayangkan tinju ke udara seperti sedang berorasi. Ia kedengeran bangga sekali.
William beneran tertawa mendengarnya. Yuki kini berdiri dari kursinya, terlalu bersemangat dan berenergi untuk tetap duduk diam di kursi.
"Anggota komisinya patroli di sekolah, Will. Mereka bisa piket ngawasin murid-murid di sekolah. Terus, terima aduan juga kalau ada yang merasa perlu dibantu."
Tangan William menopang dagunya dan ia memikirkan hal ini sejenak. Yuki sendiri memijat-mijat keningnya, ikut berpikir keras. Niat William mulia dan Yuki ingin bantu, tapi gimana ya caranya.
"Tapi... untuk bikin komisi seperti itu perlu orang-orang lain yang juga udah sepakat mau menghilangkan senioritas ya, Will. Terutama murid-murid kelas tiga. Menurutmu apa mereka mau? Atau jangan-jangan mereka sebenernya menikmati senioritas-senioritasan ini?" pertanyaan Yuki datang bertubi-tubi.
"Saya rasa bukannya mereka menikmati. Tapi mereka juga pernah jadi adik kelas. Mungkin karena sebelumnya harus tunduk sama senior, kali ini mereka merasa ini giliran untuk jadi yang teratas dan ditakuti. Bagi mereka itu namanya adil.
Yuki melongo mendengar hipotesa William. Bener juga, pikirnya. "Aku nggak pernah kepikiran sampai situ." kata Yuki. "Kasihan ya mereka."
William mengedipkan matanya beberapa kali mendengar kata-kata Yuki ini.
"Kasihan mereka sampai ngerasa kayak gitu." Yuki menjelaskan. "Separah apa mereka ditindas dan ketakutan dulunya sampe-sampe baru merasa adil kalau adek-adek kelasnya juga ngerasain hal yang sama? Itu kan sedih banget, Will."
William tertegun. Tidak menyangka akan dapat respon penuh empati seperti itu. William kemudian tersenyum pada Yuki. "Mungkin cuma butuh satu orang untuk memulai." katanya. "Satu orang yang berani untuk ngelakuin hal yang benar. Bukan cuma antara senior-junior, tapi juga sesama teman." kata William. Ia melirik ke arah cangkir cappuccino Yuki yang sudah habis. "Mau es krim?" tanyanya.
Mendengar ini, Yuki berhenti memijat-mijat keningnya dan mengangguk-angguk dengan cepat. "Mau, mau! Aku mau yang rasa cookies and cream. Ayo, kita samperin Sir Christ!" Yuki menarik lengan William dengan semangat.
William berdiri, tertawa dan menggelengkan kepalanya melihat antusiasme Yuki. "Kamu di sini aja, biar saya yang pesenin." katanya.
"Okay." Yuki tersenyum lebar dan duduk rapi di kursinya sendiri. William hampir saja bergerak ke arah Yuki untuk menepuk-nepuk kepalanya. Imut banget kayak puppy, batin William. "Sebentar, ya."
William berjalan ke arah café Terracotta. Sir Christ tampak sedang menyeduh kopi untuk seorang pelanggan di sana.
"Hai, Sir Christ." sapa William ketika ia sampai di café.
"Hey." balas Sir Christ ramah. "Mau pesen apa?" tanyanya.
"Tolong dua es krim, Sir Christ. Rasa cookies and cream dan..." William memandangi menu yang ditulis Sir Christ dengan kapur pada papan tulis di belakang counter.
"Ada pistachio?" tanya William.
Sir Christ mengangguk. "Cookies and cream sama pistachio, gue siapin dulu, ya."
"Terima kasih."
Darren yang tadinya berdiri di depan counter bergeser sedikit untuk memberi ruang pada William. Sambil menyeruput kopi hitam yang baru dibuatkan oleh Sir Christ, Darren memandangi William. Nggak bisa menahan diri untuk menilai cowok yang sepertinya dekat dengan adiknya itu.
'Rapi, bersih, dan sopan' adalah kesan pertama Darren. Matanya terpaku pada jam tangan yang melingkar di tangan kanan William. Jam tangan kulit itu terlihat tua, mungkin lebih tua dari William, tapi sangat terawat. Warisan orang lain? Apa ini artinya dia sentimentil? Atau males cari-cari barang baru?
Mata William bertemu dengan mata Darren dan William tersenyum kecil padanya. Darren tidak berkedip, diam saja tak merespon.
Sir Christ kembali dengan dua gelas kaca berisi es krim pesanan William. Wajah William langsung senang melihat dua sendok es krim di masing-masing gelas.
"Berapa harganya?" tanya William sambil mengeluarkan dompet dari saku jeansnya.
Sir Christ meletakkan gelas-gelas es krim di depan William dan melambaikan tangannya. "Gue traktir."
Kenapa dia pakai jam tangan di kanan? Bukan biasanya orang pakai jam di tangan kiri? Darren masih terus menyeruput kopinya sambil membuat catatan di dalam kepalanya tentang hal-hal yang sedang diperhatikannya pada diri William saat ini.
William menggeleng tegas. "Jangan, Sir Christ. Ini kan bisnis."
Hm. Sadar diri dan baik hati, pikir Darren, belum lepas juga dari mode "menilai".
Sir Christ terkekeh. "Yuki kan udah langganan. Gue harap William juga jadi langganan nantinya."
"Kalau begitu, boleh saya bayar hari ini biar resmi jadi langganan Terracotta?".
Sir Christ akhirnya menyerah. "Oke, oke. Totalnya empat puluh ribu rupiah."
"Sekalian kopinya Yuki, Sir Christ." kata William sambil menyerahkan selembar seratus ribuan pada Sir Christ.