terracotta

Rey Lasano
Chapter #7

Partie 7 • Breakfast at Lapaz (1)

Yuki ingat, hari itu hari Rabu dan untuk pertama kalinya, ia mendengar sedikit tentang latar belakang Renaldi dari Diana. Cuacanya mendung lagi, bulan Agustus kali ini sungguh aneh, diwarnai hujan yang dengan keras kepala mampir setiap minggu.

Yuki dan Diana menghabiskan makan siang mereka agak lebih cepat (omurice - nasi goreng yang dibungkus telur dadar dengan saus tomat di atasnya dan tentu saja, brokoli panggang Diana). Masih ada waktu sepuluh menit sebelum bel masuk berbunyi, maka keduanya memutuskan untuk berjalan-jalan sebentar di hijaunya taman sekolah Notre Dame High.

Yuki suka taman sekolahnya. Teduh dan saat mendung seperti ini, jadi sejuk. Mereka berbelok di salah satu bagian favorit Yuki, yang diapit lengkungan tiang yang ditanami bunga-bunga mawar rambat. Yuki tak sabar melihat bentuk lengkungan tiang itu begitu bunganya mekar dan merambat sempurna.

"Renaldi nggak selalu seperti itu. Dia udah ngelewatin terlalu banyak hal." Diana memulai. Yuki tidak mengatakan apa-apa. Matanya kini ganti menelusuri jalan-jalan setapak berbatu di bawah kakinya, dibuat mengelilingi taman Notre Dame agar murid-murid tidak menginjak rumput.

"Aku tau semua orang ngelewatin banyak hal dan punya masalahnya sendiri-sendiri." kata Diana lagi. Dalam dua minggu ini, mereka berdua sudah jadi sangat dekat. Terkadang rasanya seperti mereka bisa membaca pikiran masing-masing tanpa berkata-kata panjang lebar.

"Renaldi kenapa memangnya?" tanya Yuki.

Diana tidak langsung menjawab. Ia menggelengkan kepala cantiknya dan berkata lagi, "Aku nggak bisa ceritain karena itu bukan hakku." Diana menoleh pada Yuki. "Tapi Ki, coba deh kenalin Renaldi lebih deket lagi. Sebenernya dia itu sepupu favorit aku."

Yuki menepuk keningnya dan tertawa. "Aku kok nggak ngebayang sepupu-sepupu kamu yang lain kayak gimana."

Diana ikut tertawa bersama Yuki. "Kalau udah kenal, dia nggak segitunya."

"Kayak apa Renaldi kalau di rumah?" tanya Yuki.

"Hmm..." Diana berpikir sebentar, seperti sedang menyusuri koridor penuh memori dan berusaha memilih fakta mana tentang Renaldi yang bisa dibagikannya pada Yuki. "Dia bisa bikin sup krim bawang yang enaaak banget." kata Diana akhirnya.

"Renaldi bisa masak?" Yuki nggak percaya.

"Cuma bisa masak itu, sih. Tapi beneran enak banget. Kalau dia masak buat aku, dia pasti tambahin brokoli."

Diana dan kecintannya pada brokoli, betul-betul tak terpisahkan. Yuki berusaha mencerna pengetahuan baru tentang Renaldi. Darren bilang, masakan, layaknya lukisan Yuki, tak bisa berbohong. Masakan yang dibuat dengan hati akan beda rasanya dengan yang dimasak dengan terpaksa. Dari cara Diana menjelaskan sup bawangnya, Renaldi nggak kedengeran seperti orang yang nggak punya hati, tuh.

"Dia juga suka karya-karya seni. Kayaknya itu juga deh, yang bikin Renaldi bikin tato."

Yuki ingat di hari pertama sekolah, ujung tato Renaldi sedikit menyembul di bawah lengan kemeja putihnya. "Di tangan kiri Renaldi, ya? Tato apa?"

"Gambar anak panah yang keren banget."

"Wow."

"Tuh kan, udah mulai suka." Diana menggoda Yuki.

"Nggak sama sekali." kata Yuki sambil tertawa. "Cuma susah aja ngebayangin Renaldi seperti yang kamu jelasin barusan ini."

Diana mengangguk mengerti. "Ngomong-ngomong, gimana William-mu? Udah ngobrol lagi?"

"Cuma William." Yuki mengoreksi Diana, yang dari hari pertama selalu menyebut William sebagai Williamnya Yuki. "Aku malah belum ketemu lagi, tuh." Pikiran Yuki melayang kembali ke Sabtu lalu, Sabtu keduanya di Terracotta bersama William. Meskipun baru beberapa hari berlalu, tapi momen di Terracotta itu rasanya sudah lama sekali, Yuki juga tidak mengerti. Ada rasa aneh yang memenuhi relung hatinya; Yuki ingin bisa melihat dan bertemu lagi dengan William. Lagi dan lagi.

"Yah... satu sekolah ini, Ki. Harusnya nggak susah nyari orangnya." kata Diana, seolah-olah tahu apa yang tengah dipikirkan sahabatnya itu.

"Ha?" Yuki keluar dari lamunannya. Ia tidak sepenuhnya memperhatikan apa yang dikatakan oleh Diana barusan.

Lihat selengkapnya