terracotta

Rey Lasano
Chapter #8

Partie 8 • Breakfast at Lapaz (2)

"Oh ya? William cerita apa?"

Chef Marcel tertawa kecil, lebih karena semburat rona merah di pipi William daripada karena pertanyaan Yuki. "Cerita yang baik-baik." jawab Chef Marcel. Aksen Bahasa Perancis menempel dengan kental dalam pengucapan Bahasa Indonesianya.

"Silakan." dengan tangannya, Chef Marcel menunjuk sebuah meja di ujung dapur Lapaz. Meja bundar dan dua buah kursi itu di tutupi taplak putih dan peralatan makan lengkap sudah tertata dengan rapi di sana. Kelopak bunga-bunga kering ala potpourri di dalam mangkuk kayu kecil jadi hiasan di atas meja.

"Eh?" Yuki bingung dan menoleh ke arah William.

William tersenyum padanya, melepaskan tangan Yuki, dan berjalan untuk menarik kursi dari meja untuk Yuki. "Duduk, Ki."

Yuki ragu, tapi Chef Marcel dan William dua-duanya tersenyum meyakinkannya. Yuki berjalan pelan dan duduk di kursi. William membuka lipatan serbet putih tebal yang tersedia di atas meja dan mengaturnya di atas pangkuan Yuki. Cowok itu kemudian duduk di depannya dan melakukan hal yang sama pada serbetnya sendiri.

"William." Yuki mencondongkan badannya ke arah William di atas meja.

"Hmm?"

"Kita lagi ngapain?" bisik Yuki.

"Sarapan." William balas berbisik.

"Kamu..."

Chef Marcel mendatangi meja itu dan bertanya dengan ramah. "Yuki dan Monsieur William mau makan apa?"

Yuki nggak tahu harus bilang apa. William tersenyum lagi dan berkata pada Chef Marcel, "Chef, diskusi sebentar, ya."

Chef Marcel membungkuk sedikit kemudian meninggalkan mereka. Yuki cepat-cepat meraih gelas berisi air di depannnya dan menenggak setengah isinya.

"Yuki, sarapan favoritmu apa?" tanya William.

"William, kenapa kita bisa makan di sini?" Yuki balik bertanya.

"Chef Marcel teman saya, seperti Sir Christ untukmu."

Yuki tidak langsung merespon. Seperti biasa, berbagai pertanyaan terbentuk di benaknya. Pikiran Yuki tersusun atas lapisan-lapisan pertanyaan. Itu adalah caranya memahami dunia dan apa yang terjadi di sekitarnya. Menurut cerita Mami, kata pertama Yuki adalah "kenapa?" dan sejak saat itu Mami katanya sudah tabah menerima nasib bahwa anaknya yang satu itu selalu punya pertanyaan akan se-ga-la-nya. Yuki rasa itu sesuatu yang dibesar-besarkan. Pastilah kata pertamanya sesuatu seperti "mami" atau "papi", layaknya balita lain pada umumnya. Tapi ia tidak bisa membuktikan ini, sedangkan Mami adalah saksi dari semua yang tak diingatnya semasa kecil, jadi tidak ada pilihan selain percaya.

"Pastry buatan Chef Marcel betul-betul enak. Saya suka semua rotinya."

"Croissant." kata Yuki dengan cepat.

"Quoi?" Apa? Lagi-lagi William keceplosan bahasa Perancis di depan Yuki.

"Croissant. Pastry favoritku croissant."

William tersenyum. "Oke, croissant ya." William mengangguk pada Chef Marcel dan pria itu berjalan mendekati meja mereka.

"Sudah memutuskan?" tanya Chef Marcel.

"Tolong croissant buat Yuki, tartine buat saya, Chef." jawab William.

Chef Marcel mengangguk. "Yuki, tidak mau coba café crème?" tanya Chef Marcel.

"Kopi susu." William menerjemahkan untuk Yuki.

"Saya dengar Yuki senang kopi. Café crème cocok dimakan dengan croissant di pagi hari, nanti nyesel lho nggak cobain." kata Chef Marcel.

Yuki tertawa. "Oke, Chef Marcel. Aku coba ya kopinya."

Chef Marcel tersenyum puas kemudian meninggalkan meja itu lagi. Yuki melihat berkeliling, menyerap seluruh denting kesibukan yang ada di sekitarnya. Orang-orang berlalu-lalang membawa nampan-nampan besar berisi roti-roti dan kue panggang yang baru saja keluar dari oven, beberapa orang sedang berdiskusi di suatu sudut, Emilie yang tadi menyapa William tengah mencuci berbagai peralatan dapur sambil bersiul-siul. Ada orang lain lagi yang membawakan beberapa pastry di atas nampan kayu dan memberikannya pada Chef Marcel. Chef Marcel mencoba ketiga pastry itu, kemudian mengangguk tanda setuju dan mendorong nampan kayu itu kembali ke arah yang membawanya. Yuki terkagum-kagum sendiri merasakan energi yang menyelubungi dapur Lapaz pagi ini. Ketika ia kembali pada William, mata William tengah memandanginya.

"William, Ko Darren mungkin kalau shift pagi hebohnya seperti ini, ya."

"Kakakmu seorang koki?" tanya William.

Yuki mengangguk. "Tapi dia masih galau mau seriusin masakan Jepang atau Italia. Ko Darren masakannya selalu enak, tapi menurutku dia paling bahagia waktu bikin masakan Italia." kata Yuki lagi. "Will, kenapa kamu pagi-pagi begini udah ada di sekolah?"

"Saya ada lab kelas biologi. Proyek yang saya kerjakan harus diobservasi pagi-pagi sekali."

Tunggu sebentar, cerita ini kok nggak asing, ya? pikir Yuki.

"Loh, sama dong kayak Ko Eren."

"Eren Adiraga?" tanya William. "Dia kakakmu?"

Yuki mengangguk. "Bukan yang koki, ya. Kalau Ko Erren hobinya makan, tapi sama sekali nggak bisa masak." Yuki tertawa. "William kenal sama Ko Eren?"

"Tau orangnya, tapi nggak sekelas." kata William.

"Oh ya, Will." Yuki tiba-tiba teringat akan sesuatu yang lain. "Beberapa hari yang lalu ada cewek-cewek dari kelas sebelah datengin meja aku sama Renaldi. Terus, dia kasih cokelat ke Renaldi, tapi dicuekin aja sama anak itu."

William mengangguk, tanda ia mendengarkan. "Lalu?"

"Lalu ya Farah, si cewek itu, jadi kesel. Aku juga akan kesel kalo dicuekin gitu. Terus, Farah bilang, Renaldi itu anak haram."

Lihat selengkapnya