Di depan kelas William, Yuki berhenti berlari. Nafasnya sedikit tersengal dan ia berjinjit, mencari sosok cowok itu di dalam kelas. William tidak ada di sana. Adrenalin yang tadinya memompa Yuki berlari dan membuatnya tidak mempedulikan tatapan orang-orang di sekitar berangsur-angsur hilang. Niat Yuki adalah untuk menceritakan langsung tentang apa yang terjadi di kelas barusan kepada William. Empat orang anak kelas tiga mulai berjalan mendekati Yuki dari dalam kelas. Wajah mereka dipenuhi amarah. Secara refleks, Yuki melangkah mundur, tapi ia tidak kabur. Sosok seorang cowok mendahului geng kelas tiga yang hampir mencapai Yuki, dan keempat orang itu berhenti di tempat, tak melanjutkan langkah mereka.
"Nyariin Awe, ya?" tanya cowok itu. Yuki harus mendongak sepenuhnya untuk menangkap mata si cowok. Tubuhnya tinggi sekali, bahkan lebih tinggi dari William yang menurut Yuki juga udah tinggi banget. Kulit cowok itu kecokelatan terpanggang matahari. Rambutnya ditata ke atas dengan gel, mirip gayanya Darryl. Tapi di antara segalanya, alisnya adalah bagian yang jadi ciri khasnya. Kedua alisnya tebal, seperti ulat bulu yang membingkai wajahnya. Tanpa kedua alis tebalnya, cowok itu mungkin akan terlihat seperti anak kecil. Kedua alisnya menonjolkan garis rahang dan hidung mancungnya, membuatnya terlihat dewasa. Ia tersenyum ramah pada Yuki. Wajahnya terlihat seperti tengah menyembunyikan sesuatu yang lucu dan perasaan Yuki langsung nggak enak. Yuki mengenalinya sebagai salah satu kakak kelas yang paling sering bermain basket saat istirahat.
"Umm... Williamnya..."
"Lewat sini." katanya tanpa menunggu Yuki menyelesaikan kata-katanya. Cowok itu berjalan ke arah yang berlawanan dengan arah Yuki datang tadi. Yuki tak langsung mengikutinya. Ada aura iseng yang menyelimuti cowok itu, seperti memiliki rencana sendiri yang Yuki tidak ketahui, dan belum tentu rencananya adalah sesuatu yang baik.
"Atau loe mau di sini aja?" tanyanya sambil melirik ke sekeliling Yuki. Banyak anak-anak kelas tiga berdiri menjaga jarak dari Yuki, namun sama sekali tidak menyembunyikan ekspresi kesal dan marah karena Yuki berdiri di daerah kekuasaan mereka. Sepertinya satu-satunya alasan yang menahan mereka dari menyerang Yuki adalah karena cowok yang mengaku sebagai teman William ini masih terus bicara pada Yuki.
Karena tak ada pilihan lain, Yuki menurut juga dan mengikuti cowok itu, berjalan beberapa langkah di belakangnya. Cowok itu berbelok di ujung koridor, membawa mereka ke belakang deretan ruang kelas. Yuki terperangah ketika melihat ada taman lain di belakang sana, yang sama sekali tidak terlihat dari luar Notre Dame High. Nyaris tidak ada orang di sana karena kebanyakan murid-murid berkumpul di taman utama. Yuki langsung tahu alasannya begitu ia menginjakkan kaki di taman itu. Meskipun cantik, taman itu jauh lebih terbuka dari taman utama Notre Dame High. Sinar matahari masuk tanpa perlindungan kanopi pohon-pohon yang tinggi, membuat tempat itu terang dan panas. Sambil memperhatikan ini semua, Yuki memarahi diri sendiri di dalam hati. Seharusnya ia langsung mencari Eren, kakaknya. Eren pasti marah besar, tapi biar bagaimanapun ia akan melindungi Yuki. Kenapa Yuki malah mau-maunya mengikuti orang yang tak dikenalnya ke taman sepi yang juga tak pernah dilihatnya? Hhh, Yuki jadi geleng-geleng kepala sendiri. Ia tenggelam dalam pikirannya hingga tak menyadari bahwa cowok yang sedari tadi berjalan di depannya sudah berhenti.
Yuki menabrak cowok itu.
"Loe ini emang beda dari yang lain, ya." katanya. Tubuhnya benar-benar seperti menara di depan Yuki yang mungil. Yuki mundur beberapa langkah sambil bergumam "maaf." Ketika melihat berkeliling untuk mengecek di mana mereka berada, Yuki menyadari bahwa cowok itu berhenti di area taman yang sedikit lebih teduh. Pohon-pohon berukuran sedang memberikan sedikit perlindungan dari matahari. Mereka berdiri tepat di depan sebuah lengkungan tembok yang terbuat dari batu bata kasar. Yuki tidak bisa membayangkan sebesar apa sebenarnya sekolah ini. Kok jadi seperti kastil yang punya pintu atau bagian-bagian rahasia? Atau mungkin juga, Yuki sudah terlanjur nyaman dengan kelas dan taman belakang tempatnya makan siang bersama Diana, sehingga ia tidak lagi menjelajahi daerah sekitarnya. Yuki kira dapurnya Lapaz adalah satu-satunya rahasia Notre Dame High. Ternyata ada juga yang lain. Jangan-jangan sekolah ini juga punya ruang bawah tanah, pikir Yuki.
"Nama gue Michael." Yuki yang tadinya sedang takjub dengan sekelilingnya memusatkan kembali perhatiannya pada cowok di depannya. Michael mengulurkan tangannya pada Yuki.
Yuki menyambut uluran tangan itu. "Yuki." tangan kirinya menggenggam amplop Jakarta Philharmonic Orchestra dengan lebih erat.
"Apaan tuh?" tanya Michael.