terracotta

Rey Lasano
Chapter #12

Partie 12 • The Beginning of Something Else (2)

Hari Sabtu itu, Yuki tiba sepuluh menit lebih cepat dari waktu janjiannya dengan Renaldi. Ia berhasil kabur dari Ko Darryl yang sudah ribut dari pagi mau mengantarnya. Tapi ketika Yuki sampai di depan patung batu besar berbentuk malaikat di halaman Museum Seni Perancis di Jakarta (MUSEP), sosok Renaldi sudah berdiri di sana. Tanpa batasan peraturan seragam sekolah, Yuki hampir tidak mengenali teman sebangkunya itu.

Gaya Renaldi tampak sederhana; celana pendek warna khaki dan atasan kaus berwarna abu-abu polos. Rambutnya digel rapi. Ketika Yuki mendekat, Renaldi tampak tengah membaca brosur museum di tangannya. Lengan kausnya lebih pendek dari kemeja sekolah yang sehari-hari ia kenakan dan kali ini, Renaldi sama sekali tidak berusaha untuk menutupi tato yang ada di lengannya. Sebagian besar tato itu masih tetap tertutup lengan kausnya, tapi kali ini Yuki bisa melihat lebih dari sekedar ujung anak panah pada tato Renaldi. Di atas mata anak panah, ada kompas berukir yang dilingkari angka romawi di sekelilingnya, sekilas lihat tampak seperti jam. Dua jarum jam menunjuk angka IV dan II. Yuki berhenti di sebelah Renaldi, tapi alih-alih menyapa temannya, gadis itu berkonsentrasi pada tato Renaldi.

Renaldi yang menyadari kehadiran Yuki menepuk kepala gadis itu perlahan dengan brosur yang dipegangnya. “Ngapain sih melototin tangan orang kayak gitu?” tanyanya.

“Apa sih sebenarnya gambar tato yang ada di lenganmu ini?” Yuki balas bertanya sambil menunjuk bahu Renaldi.

Sebagai jawaban, Renaldi melangkah pergi ke arah pintu masuk museum tanpa berkata apa-apa.

“Heyyy,” panggil Yuki sambil berlari-lari kecil. “Tunggu dong, Re.”

Cowok itu menyodorkan brosur yang dipegangnya dari tadi pada Yuki. “Galerinya ada di lantai dua, tapi pameran utamanya ada di hall lantai satu.”

“Kalau gitu kita ke lantai dua dulu, jadi bisa lebih lama di lantai satu, gimana?” usul Yuki.

“Oke.”

Begitu masuk ke dalam museum, suasana hati Renaldi tampak jauh lebih baik. Wajahnya tidak cemberut dilipat-lipat seperti biasanya di sekolah. Cowok itu pelan-pelan berpindah dari satu lukisan ke lukisan lain, tanpa bicara apa-apa, namun berbagi ruang dengan Yuki. Ketika sampai di lukisan terakhir, keduanya duduk di sofa yang disediakan di depan lukisan itu. Sebuah lukisan impresionis karya Gustave Courbet terpajang di tengah-tengah dinding, tanpa didampingi lukisan lain di kanan-kirinya.

The Porte d’Aval at Etretat” kata Yuki sambil menarik nafas dalam-dalam. Gadis itu berhenti sejenak sebelum melanjutkan, kedua alisnya berkerut. “Museum ini memasang lukisan-lukisan yang menarik ya, Re. Aku nggak pernah lihat karyanya Gustave Courbet dijadikan pusat perhatian seperti ini.”

Renaldi menunduk membaca brosur yang masih dipegangnya. “Tahun 1869, hmmm jauh sebelum Monet.”

“Courbet ini salah satu pelukis yang dikagumi sama Monet. Dulu Monet juga mau melukis pemandangan ini, tapi dia segan dan sungkan karena Courbet udah lukis duluan dan hasilnya bagus banget.” terang Yuki.

Renaldi diam dan mendengarkan. Perhatiannya penuh pada Yuki.

“Courbet orangnya detail. Tuh, Re, dia bener-bener perhatiin formasi bebatuan dan gerakan air. Kira-kira ini tempatnya beneran masih ada nggak, ya?”

Renaldi mengangguk. “Ada. Di Étretat.”

Yuki menoleh ke arah Renaldi dengan kaget dan menemukan cowok itu juga tengah memandanginya. “Eh? Étretat itu nama tempat?”

Renaldi mengangguk lagi. “Lukisan ini diberi judul sama kayak nama tempatnya dalam Bahasa Perancis. Porte d’Aval, di Étretat.”

Yuki langsung terpesona. “Aku sama sekali nggak tau. Kamu pernah ke sana, Re?”

Lihat selengkapnya