Sejauh mata memandang, pasir jingga memenuhi penglihatan. Hingga seberkas perak yang dikelilingi debu pekat muncul dari kejauhan. Hal aneh dari benda itu, ia seperti menyapu segala jenis partikel mikro maupun makro yang dilewatinya di seantero padang tandus tak berujung.
***
Kendaraan darat itu memiliki tampilan luar dan desain serupa SUV bertenaga besar, namun dengan ukuran nyaris tiga kali lipat; mungkin muat menampung 20 orang. Agak kurang pantas, apalagi ketika melihat roda-roda berjumlah enam pasang yang menjejak mantap di jalan berbatu, jika monster baja itu dikategorikan sebagai van. Keseluruhan tampilan disertai deru mesin bertenaga mengindikasikan bahwa kendaraan itu mampu melewati medan terberat sekalipun.
Di belakang roda kemudi, seorang pria usia sekitar 35 tahun menyetir dengan konsentrasi seorang pilot jet tempur. Mulutnya sibuk mengunyah sesuatu sambil sesekali bersenandung lirih mengikuti alunan musik lawas dari 30 tahun silam yang entah berapa kali ia putar hari itu. Masuk ke refrain, sang pria tak kuasa untuk menahan diri dan dengan lantang menyanyikan bait demi bait lirik yang telah ia hafal di luar kepala.
“Bisa berhenti nggak? Suaramu seperti mesin jet malfungsi!” Rene, gadis berkuncir kuda dengan rompi denim dan celana kargo selutut berteriak dari bagian belakang kendaraan yang berfungsi sebagai ‘rumah’ merangkap laboratorium. Begitulah kendaraan itu berfungsi: sebagai rumah bergerak. Oleh karenanya, nama Habitable Vehicle, atau disingkat dengan inisial HV, disematkan oleh sang insinyur sekaligus supir satu-satunya yang masih sibuk bernyanyi, Goran.
“Kau boleh turun jika tak suka. Lagi pula sejak kemarin, entah berapa kali kau mengeluh, Anak Kecil,” balas Goran yang akhirnya menghentikan nyanyian sumbang itu selepas refrain terakhir.
“Lalu siapa yang akan membereskan kekacauan yang kau buat akibat semua eksperimen gila dan gaya mengemudi ugal-ugalanmu ini? Kau? Bisa-bisa mobil ini meledak!” Rene membuka kaca jendela yang menghubungkan kokpit dan ‘rumah’ hingga lengking suaranya bagai memantul-mantul di ruang bagian depan kendaraan tempat Goran mengendalikan segala jenis perangkat kemudi.
“Diamlah! Kaleng-kaleng Oxycan yang kupesan sudah selesai kau kemas?”
Rene menggeleng keras hingga kuncir rambutnya berayun ke segala arah.
“Nggak untuk dijual,” ujarnya dengan tegas.
“Heh. Kalau begitu siap-siap kau kubuang selepas kita turun di distrik berikutnya. Lagipula, sudah berapa kali dibilang. Kita bukan berjualan, kita barter.” Goran tak mau kalah dari remaja ingusan itu. Ia kemudian memindahkan tuas perseneling ke gear netral, membuat Rene terhenyak menabrak sekat pemisah dan jendela yang tadi ia buka hingga gadis itu menggeram. Kendaraan besar itu berhenti di seberang sebuah bangunan yang nyaris rubuh. Tampaknya di masa lalu, tempat itu adalah pusat perbelanjaan.