Satu kolom pertanyaan lagi yang ada di formulir ini akhirnya selesai kuisi. Aku baru saja mengisi formulir pendaftaran di SMP Cahaya Abadi—yang kabarnya SMP terfavorit se-Bandung Raya.
Oke, kini aku sudah SMP—dahulu memakai rok merah, kini memakai rok biru. Setelah menyerahkan kertas formulir ke pengurusnya, aku segera menghampiri Bunda yang sedang duduk di bangku yang berada di depan kelas.
Begitu melihatku berjalan ke arahnya, Bunda berdiri. “Sudah selesai?” Aku hanya mengangguk. “Ayo, pulang.” Bunda berkata, sambil berjalan cuek menuju gerbang sekolah. Aku mengikuti langkah Bunda, sambil senyam-senyum sendiri. Bunda memang sedang bad mood hari ini karena Mbak Bunga sukses merusak bagian depan mobil Bunda hanya untuk menghindari seekor kambing yang menyeberang dengan “menerjunkan” mobil ke dalam parit yang cukup besar. Mbak Bunga dipaksa Ayah pergi kuliah membawa mobil karena Ayah sedang ada urusan dan tidak bisa mengantar Mbak Bunga. Dan Mbak Bunga menolak keras pergi kuliah menggunakan angkot. Alhasil, bagian depan mobil Bunda pun penyok ria.
“Bun ...,” aku menghentikan langkah.
Bunda menghentikan langkah, lalu berbalik badan, menatapku. “Kenapa?”
“Bunda marah, ya? Kok, kelihatannya cuek banget?” tanyaku, takut-takut.
Sekilas, Bunda terlihat heran. Tetapi, beberapa detik kemudian dia malah tersenyum geli ke arahku.
“Memang Bunda kelihatan marah ke kamu, ya?”
“Jelas banget.”
“Bunda enggak marah, kok. Hanya lagi kesal ....” Bunda berjalan ke arahku, merangkulku, dan kami pun berjalan bersisian menuju gerbang sekolah.
Sebelum masuk ke mobil Bunda a.k.a mobil Ayah karena mobil Bunda masih di bengkel, kutatap gedung SMP Cahaya Abadi yang berwarna merah dan putih. Hari Senin, aku sudah mulai sekolah di sini. Dan mendapatkan teman baru yang akan menemani hari-hariku di sekolah ini. Haaah ..., betapa cepatnya waktu berlalu. Aku bahkan masih menyangka, diriku masih berada di SD Puti Bangsa, sekolahku dahulu.
Tiiin! Tiiin!
Aku terkejut begitu mendengar sebuah suara klakson mobil yang ternyata berasal dari mobil Bunda or mobil Ayah? Whatever, deh.
Aku menghela napas panjang, tersenyum ke arah Bunda yang menatapku dari dalam mobil dan akhirnya masuk ke mobil.
“Mikirin apa, sih?” tanya Bunda, sambil menjalankan mobilnya.
“Enggak ada.”
“Bohong. Kamu, kan, bengong tadi. Pasti ada yang lagi dipikirkan ....” perkataan Bunda membuatku nyaris menggigit lidahku sendiri.
“Ya, deeh. Aku enggak nyangka aja udah SMP. Padahal, rasanya baru kemaren Bunda masih mandiin aku ....” aku mendesah pelan.
Bunda tersenyum.
“Bunda juga ngerasa kayak gitu.”
***
“Hoooaaahhhm ....” Aku menguap lebar begitu Ayah membangunkanku pukul setengah enam.