Semua staf Adi yang masih berjumlah beberapa orang, kini berkumpul. Mereka memberikan tatapan penuh selidik pada sang atasan. Sedangkan Adi masih bergeming penuh kepiluan, setelah sebelumnya berhasil menyelesaikan tangisannya. Posisinya kini berada di ruang kerjanya bersama ketujuh stafnya, memaksanya mau tidak mau harus segera memberikan penjelasan.
"Perusahaan ini sudah bangkrut, Hendra sudah membawa semua aset berharga, bahkan meninggalkan hutang yang menumpuk tinggi. Saya baru tahu beberapa saat yang lalu, maaf." Dengan berat, Adi mulai mengatakan apa yang saat ini sedang terjadi, mengungkap tabir yang bahkan baru ia ketahui.
Mendengar kebenaran dari kabar Ibnu beberapa saat lalu, tangisan Sherly dan Lia kembali pecah. Sosok Hendra yang sering lalu lalang di perkantoran itu muncul di benak masing-masing insan manusia yang tengah berkabung. Betapa biadabnya pria itu, sampai tega mengkhianati sahabatnya sendiri. Senyum ramah yang selama ini Hendra ulas di bibirnya, bahkan pada semua karyawan adalah palsu belaka.
"Apa sudah tidak ada harapan lagi, Pak?" tanya Toni dengan harapan terakhirnya.
Adi menggeleng. "Lusa, pabrik dan gedung kantor akan disita. Dan, saya juga harus secepatnya menjual rumah dan barang lain untuk pesangon kalian. Untuk itu, bisakah kalian memberikan saya waktu untuk melunasi apa yang sudah menjadi hak kalian?"
Ketujuh staf Adi saling melemparkan pandang satu sama lain. Rasa bimbang perihal apa yang akan dijadikan sebagai jawaban mulai menyeruak masuk ke dalam hati mereka. Di sisi butuh akan uang pesangon, mereka iba terhadap hidup Adi yang berselimut pilu saat ini.
Namun, tidak dengan Sonia. Wanita yang selalu mengedepankan logika daripada perasaan itu, berjalan mendekati Adi.
Sonia berhenti satu meter dari posisi dari sang atasan. "Kapan?" tanyanya.
Adi tersentak. "Kapan, bagaimana?" balasnya mencari maksud sesungguhnya dari pertanyaan singkat yang terlontar dari bibir Sonia.
Sonia mendesah. "Kapan, Bapak bisa memberikan pesangon pada kami?"
"Son!" Serly berseru, dengan harapan agar Sonia menghentikan pertanyaan perihal pesangon. Rasanya tidak etis saja jika harus dibahas detik itu juga.
"Tak apa." Adi mengulas senyumnya, meski jauh di lubuk hatinya sedih sekali. Ia menatap mereka satu persatu, kemudian kembali berkata, "berikan saya waktu satu minggu."
"Apa Bapak bisa dipercaya?"
Tidak peduli dengan respon Serly yang memintanya berhenti, Sonia tetap teguh dalam mencari kepastian perihal pesangon terakhir dari pihak perusahaan. Bukan tanpa sebab, melainkan karena memang ada. Sonia tidak mau diberi harapan palsu, terlebih ketika melihat kondisi Adi detik itu juga. Bagaimana jika Adi juga kabur dan tidak bertanggung jawab, sama halnya dengan Hendra? Pertanyaan itu yang menganggu benak Sonia selepas Adi meminta waktu dalam pembayaran hak karyawan.