Satu hari bahkan belum genap dengan malam, hidup Adi sudah berantakan. Insan mana yang tidak hancur dengan kabar yang tidak diduga-duga itu? Mungkin hampir seluruh orang di dunia akan merasakannya ketika di posisi yang sama.
Dengan langkah gontai, sembari mengenang perihal kebangkrutan, Adi menuju area parkir perusahaan yang sebentar lagi akan menjadi milik bank. Masih ada beberapa tetes air mata membasahi pipinya. Semua terasa sulit baginya, bingung harus merencanakan apa di kemudian harinya.
Bahkan, untuk urusan keluarga, Adi sama sekali belum berniat membuka fakta perihal kondisi perusahaan. Ia memikirkan hati istri juga anak-anaknya. Menyembunyikan segalanya adalah rencana tunggal yang akan ia ambil saat ini.
Adi masuk ke dalam mobil sedannya dengan gerak lunglai, sesaat setelah ia sampai di area parkir juga keberadaan mobilnya. Matanya masih menyusuri keadaan sekitar, seolah ingin mengenang perusahaannya untuk terakhir kali sebelum menjadi milik bank. Tidak peduli dengan semburat jingga yang sudah menghiasi langit, tanda sudah sore hari.
Bahkan, ponselnya sejak tadi telah berdering mungkin dari istri atau anaknya dan tidak dijamah sama sekali oleh tangannya. Ya, Adi bingung, belum ada kesiapan pada mentalnya untuk menghadapi segalanya. Bagaimana ia akan memberikan fakta kebangkrutan itu setelah bank akan menyita lusa? Juga rumah besar yang dengan terpaksa harus dijual, bahkan beberapa saat yang lalu ia sudah memposting di suatu forum penjualan properti.
"Apa yang harus aku katakan pada istri dan anak-anakku?" gumam Adi dengan bibir yang mendadak bergetar. Sedangkan, wajahnya sarat dengan penyesalan. Bagaimana bisa ia ditipu oleh Hendra? Bahkan, tidak menyadari bahwa aset berharga perusahaannya dicuri oleh pria itu dan kemudian digadai untuk kepentingan pria itu sendiri.
Namun, Adi tidak boleh larut dalam kesedihan setelah seharian penuh ia alami. Ia harus segera pulang, terlebih ketika ponselnya justru berdering lagi. Sudah pasti para anggota keluarganya sangat mengkhawatirkan dirinya.
Mau tidak mau, Adi menyalakan mesin mobilnya sesaat setelah ia mengusap air mata yang kembali mengalir satu bulir. Ia menghela napas dalam, dengan harapan tubuhnya juga hatinya bersedia memberikan ketenangan. Detik berikutnya, ia mulai melaju mobil sedannya, menuju rumah besar nan elok miliknya juga keluarganya.
****
Tria Widya—anak ketiga—Adi dan Nuryati yang biasa dipanggil Ayya, kini berdecak lega. Meski tubuhnya masih terbalut seragam SMA, ia tidak peduli bahkan lantas berlari menuju halaman rumah di mana mobil sang ayah baru memasuki halaman tersebut. Senyumnya yang manis mengembang dengan sejumlah rasa tidak sabar.
Hingga ketika sampai di halaman itu, Ayya meloncat memeluk tubuh Adi bagai anak kecil yang masih duduk di sekolah dasar. Adi membalas pelukan hangat dari sang anak dengan senyum yang terulas teduh di bibirnya, meski jauh di dasar sana, hatinya merasa sakit sekaligus bersalah.
"Papa, aku sudah telepon dari tadi kenapa enggak dijawab?" tanya Ayya menyelidik sembari menatap kedua manik mata Adi yang terhias keriput tipis.