Perumahan Ambrosia di pusat kota Melatria adalah sebuh ironi perumahan mewah yang terbengkalai. Perumahan ini telah menyaksikan sejarah panjang yang meruntuhkan hati. Banyak rumah yang puluhan tahun dibiarkan kosong tak berpenghuni. Rumah-rumah itu pernah menjadi rumah para guru bahasa Mandarin yang bersinar di bawah sinar mentari Belanda.
Di masa itu, mereka mengajar bahasa Mandarin di sekolah-sekolah yang didirikan oleh penguasa Belanda agar para anak-anak Belanda itu bisa berkomunikasi dengan para pengusaha Tionghoa di negara-negara kekuasaan Belanda. Para guru ini berpenghasilan baik, dan sebagian mempunyai kedudukan terhormat karena dipercaya menjadi penerjemah pribadi. Kedekatan Tionghoa dengan Belanda menimbulkan rasa iri pribumi.
Ketika Belanda menarik semua pasukannnya dari negara-negara yang dikuasainya, para guru mandarin ini kehilangan pekerjaan mereka. Sekolah-sekolah Belanda ditutup pemerintah Melatria, bersamaan dengan penutupan semua kursus bahasa Mandarin.
Masa-masa kelam penjajahan sudah telanjur meresap dalam darah menghantui seluruh warga Melatria dan melahirkan kebencian terhadap Tionghoa. Pada tahun 1960, pemerintah Melatria mengumpulkan para guru bahasa Mandarin untuk berapat bersama. Di sana, mereka menandatangani daftar hadir, yang keesokkan harinya digunakan pemerintah sebagai daftar pembelot negara. Mereka diberi surat keterangan bercap khusus. Bahkan surat itu terus diwariskan pada seluruh anak cucu dan mustahil bisa dihapus.
Bencana kedua datang sepuluh tahun kemudian pada tahun 1970, saat pemerintah Melatria memberlakukan sistem upeti tanah untuk semua Tionghoa. Saat itu, seluruh warga Tionghoa Melatria menyerahkan sertifikat tanah dan rumah mereka kepada pemimpin Melatria. Sejak itu mereka kehilangan hak atas rumah dan tanah, mereka pun harus membayar upeti.
Tidak ada yang tahu penyebabnya. Ada dugaan karena Tionghoa lagi-lagi dilabeli sebagai pengkhianat. Tapi menurut gosip yang beredar, putra pemimpin Melatria jatuh hati pada guru bahasa mandarinnya. Tapi sang guru memilih menjalankan agama dan tradisinya yang berbeda dengan agama anak pemimpin Melatria itu. Sang Pemimpin pun marah, menciptakan peraturan upeti tanah, dan dengan demikian sang guru bahasa mandarin itu akan miskin pelan-pelan, sengsara, menderita dan meninggalkan Melatria atau meninggalkan dunia ini.