Di dalam Dargon Nightclub, sedang kesibukan besar-besaran. Kemarin, Tobias memesan speaker. Suara musik saat pesta pembukaan dirasa kurang menggelegar. Perumahan ini terlalu sepi, speaker yang lebih kuat akan menghasilkan suara megah yang menceriakan perumahan ini. Dengan begitu, orang-orang akan tertarik datang.
Meskipun konsep yang diusung Dargon Nightclub adalah private nightclub, Tobias tidak ingin nightclub ini senyap. Kalau pengunjung cuma masuk dalam suatau ruangan berperedam kemudian menyetel musik sesuai kehendaknya, Dargon Nightclub akan sama saja dengan private nightclub lainnya. Tobias ingin di Dargon Nightclub, orang bisa menyewa satu bangunan rumah, dari halaman depan sampai halaman belakang dan memenuhi rumah itu dengan alunan musik, dance, serta canda tawa. Dargon Nightclub akan menghadirkan hiburan malam baru bagi para warga Melatria.
Tobias memesan empat speaker lagi yang akan dipasangnya di halaman untuk melengkapi dua speaker yang sudah ada. Tiga speaker di halaman belakang dan satu speaker lagi di halaman depan. Dengan begitu, pengunjung tidak perlu ada di dalam rumah untuk mendengar keahlian DJ memutar musik. Mereka bisa menikmati musik sambil duduk di halaman belakang atau di halaman depan.
Empat orang teknisi datang, lalu Tobias meminta para teknisi itu untuk memasang speaker-speaker itu di halaman belakang; satu di tembok kanan atas, satu di tembok kiri atas, satu di tembok belakang atas, kemudian kepada satu teknisi lain dimintainya memasang speaker di halaman depan.
Tobias duduk di sofa mengamati para teknisi itu bekerja memasang speaker-speaker itu. Dua orang teknisi bekerja sedang mengangkat sebuah speaker ke tengah halaman, salah satunya berkata dengan lugunya kepada rekannya, “Banyak banget pasang speakernya. Mau buat apa ya?” Rekan yang diajak bicara diam saja dan mengerutkan kening sebagai tanda diam.
Betul saja. Komentar itu menimbulkan reaksi sinis Tobias. Dia berdeham kencang. Dia tidak suka orang menggunjingkannya. Tobias bangkit berdiri menuju meja DJ. Dia menyalakan dua speaker yang ada di sisi kanan dan kiri meja. Suara berdenging bergema, tanda speaker menyala. Tobias lalu menyalakan musik dari ponselnya, dia memilih album musik rock Nirvana. Suara gebukan drum Dave Grohl bertalu-talu memenuhi ruangan disusul suara melengking serak khas Kurt Cobain membahana meneriakkan lagu Smells Like Teen Spirit.
Mendengar entakkan musik yang tiba-tiba, teknisi speaker yang tadi menggunjingkan Tobias pun terdiam dan lekas menyalakan bor menyiapkan lubang untuk menancapkan paku tempat penyangga speaker akan diletakkan.
Seorang teknisi lain berusaha mengabaikan keributan gebukan drum Nirvana dan menghampiri Tobias. Dia ingin mencairkan suasana tegang yang tadi seketika tercipta akibat dehaman Tobias.
“Maaf Pak. Speaker yang ini sudah bisa dicoba,” Teknisi itu menunjuk speaker di tembok di sisi kanan, bagian tembok yang berbatasan dengan rumah Pak Yoga.
“Ya. Nanti sekalian saja dengan speakar lain,” jawab Tobias dingin.
“Tapi, Pak. Kalau langsung dicoba ketiganya,” kata teknisi itu mengacungkan telunjuknya memutari kebun belakang nan luas itu, “Apa tidak terlalu berisik, Pak?” Teknisi ini mengawasi wajah Tobias, mengantispasi reaksi apa pun yang hendak dikeluarkan Tobias. Tapi melihat Tobias diam saja, dengan hati-hati, teknisi itu melanjutkan perkataannya, “Saya lihat tadi ada… tiga oma-oma, apa mereka tidak jantungan, Pak?”
Tobias mendongak dari layar ponselnya dan menatap tajam manik mata teknisi itu, “Kamu dibayar sama siapa? Saya atau nenek-nenek itu?”
Bagai seeekor tikus dalam cengkeraman elang, teknisi itu diam tidak berkutik. Keringat dingin membasahi keningnya. Teknisi itu mengelap keningnya dan terbata-bata berkata, “Maaf, Pak.” Lalu menganggukan kepala dan undur diri lalu buru-buru kembali ke tempatnya, di tembok sisi kanan dan pura-pura mengamat-amati speaker yang sebenarnya sudah terpasang sempurna itu.