Bulan memancarkan cahaya halus di atas Perumahan Ambrosia saat malam menyelimuti lingkungan itu. Di lubuk hati Bu Ratna yang paling dalam, api berkobar-kobar, disulut oleh tekad pantang menyerah untuk mengembalikan ketentraman yang sempat terganggu dengan kedatangan klub malam.
Musik dari Dargon Nightclub sudah merobek-robek langit semenjak tadi. Kelima preman penjaga nightclub duduk-duduk di depan nightclub, asap rokok mengepul dari bibir-bibir hitam yang tiada henti tertawa terbahak-bahak sesekali tersedak asap pekat rokok bikinan sendiri itu.
Bau pengap tembakau dan cengkeh yang tajam terbawa angin hingga masuk ke rumah Bu Ratna. Perempuan tua itu cuma bisa geleng-geleng kepala melihat kelakuan para pemuda di seberang rumahnya itu.
“Baik, aku akan menegur Tobias.” Bu Ratna memberikan semangat pada dirinya sendiri untuk beranjak dari sofa ruang tamu menuju rumah Tobias.
“Mau ditemani?”
“Nggak. Nanti jadinya protes warga. Kalau aku sendirian, aku datang sebagai RT, yang mengingatkan warganya yang membandel.”
Pak Danar mengacungkan jempolnya, “Ok, sip! Semangat, Bu!”
Bu Ratna memakai sandal lalu berjalan ke rumah Tobias. Dari teras, Pak Danar mengawasi istrinya. Dalam hati dia memohon, agar para preman itu berbaik hati pada istrinya. Tiga langkah saja Bu Ratna sudah tiba di halaman nightclub itu dan berdiri di hadapan para pemuda, kehadirannya mengundang perhatian. Para pemuda itu berdiri bersamaan, menimbulkan detak jantung berlarian dan darah berdesir ngeri Pak Danar yang mengawasi istrinya dari teras rumah.
"Yanto, Rudi, Iwan, Budi, Joko," sapanya langsung dengan nada iba. Sebagai seorang ibu dan nenek, mau tak mau dirinya merasa prihatin melihat para pemuda itu dan mengingat orangtua mereka. “Tobias ada?”
“Kenapa nyari Tobias? Kami yang jaga di sini,” kata seorang pemuda paling kurus dan paling jangkung. Kepalanya selalu tertutup beanie merah sebagai simbol kepemimpinan dalam gengnya.
“Ada yang harus saya bicarakan dengan Tobias,” sahut Bu Ratna setenang mungkin.
“Ada apa? Ngomong sama saya saja. Saya yang jaga keamanan di sini,” tukas Yanto. Pemuda itu berkata garang seperti anak muda yang bertemu lawannya dari sekolah lain. Dia lupa, Bu Ratna sudah seusia neneknya.
“Ada hal penting yang harus saya bicarakan langsung dengan Tobias,” Bu Ratna mengulangi perkataannnya lagi. Jantungnya sudah berlompatan tak karuan. Semua peristiwa politik berkelabatan dalam benaknya. Kaki kirinya terangkat dan melangkah ke belakang. Bu Ratna mencengkeram erat-erat tepian daster yang dipakainya bagai perintah bagi kaki kanannya untuk tetap di tempat. Dia mendongak, menatap erat kedua manik mata Yanto. “Saya Bu Ratna, Ketua RT Ambrosia. Saya harus bicara dengan Pak Tobias, sekarang juga.”