Di dalam rumah, Rani cuma bisa geleng-geleng kepala melihat kekompakkan ibunya dan teman-temannya. Mendengar ucapan ibunya yang penuh amarah tadi, Rani buru-buru keluar. Dia ingin mencegah apa pun niat ibunya itu. Tidak pernah ada kemarahan yang berujung kebaikkan. Baru saja Rani tiba di depan rumahnya, Yanto berteriak lantang membuat kakinya lemas karena ngeri.
“Heh! Kalian ini ngapain ribut-ribut!” Yanto menerjang kerumunan warga.
Melihat sosok kurus dan jangkung bertopi beanie, Bu Ratna menghentikan tindakannya. Pikiran-pikiran seram berseliweran di benak Bu Ratna. Kakek moyang Yanto centeng terkenal di Melatria. Anak cucu dan keturunannya menjadi begal dan maling paling lihai seantero negeri. Pekerjaan itu rupanya seperti perusahaan yang diwariskan kepada anak cucu. Profesi Yanto pun tidak jauh-jauh dari dunia hitam, hanya istilahnya saja yang diperhalus menjadi ‘penjaga keamanan’. Melatria itu kota dengan penduduk sedikit, jadi cerita-cerita semacam itu mudah sekali menyebar dari utara sampai selatan, dari barat sampai timur Melatria.
“Saya mau bertemu Tobias!” hardik Bu Indah.
“Saya yang jaga keamanan di rumah ini!” tukas Yanto tidak mau kalah garang.
“Tobias mana? Kami mau bicara,” ujar Bu Ratna dengan nada tegas.
“Buat apa nyari Tobias. Kan sudah dibilangin saya yang jaga kemananan di rumah ini!” pekik Yanto marah. Kemarahan menyelimuti mata batinnya sehingga melupakan bahwa yang dia ajak adu nada tinggi adalah seorang ketua RT dan seorang nenek yang usinya empat kali umurnya. Itu belum termasuk sejarah bahwa warga Ambrosia telah banyak membantu dirinya dan warga kampung Yanto.
Dulu, warga Ambrosia membayar uang keamanan kepada ayahnya Yanto karena memang ayahnya itu diperkerjakan sebagai penjaga keamanan di Ambrosia. Ayah Yatno direkrut pihak pengembang perumahan sebagai bagian dari progam pengabdian masyarakat. Rumah keluarga Yanto ada di kampung di belakang Ambrosia, di belakang tanah kosong.
Yanto kecil bahkan mereka sekolahkan dan diikutkan berbagai macam, termasuk les matematika tersohor di era ’90-an. Ketika lulus SMP, ibu-ibu Ambrosia patungan membelikan dia motor agar Yanto tidak minder dengan kawan-kawan lain.
Setiap ada keluarga Yanto yang sakit, sakit ibu-ibu Ambrosia akan bahu-membahu membiayai sampai sembuh. Bahkan, saat ada keluarga yang meninggal, biaya pemakaman berikut upacara penguburannya warga Ambrosia yang menanggung.
Mereka berharap, dengan membaiknya kondisi ekonomi, Yanto tidak meneruskan pekerjaan leluhurnya. Tapi ternyata mereka salah duga. Lulus sekolah kejuruan, Yanto sebenarnya sudah bekerja sebagai kurir perusahaan ekspedisi. Namun, tawaran menjadi penjaga keamanan di nightclub rupanya telah menggoyahkannya.
Mereka semua menyokong keluarga Yanto dengan sukarela. Namun, melihat anak yang mereka biayai bersama-sama itu justru membentaki mereka, rasanya menyakitkan. Yanto ada di depan mata mereka kini tapi dia berada nun jauh di sana. Bu Ratna dan ibu-ibu lainnya tidak mengira semudah itu Yatno berbalik arah memusuhi mereka cuma gara-gara Tobias.
“Tobias mana, Tok! Suruh keluar kami mau bicara!”
“Sudah dibilangin saya yang jaga rumah ini. Ngomong sama saya saja. Ada apa?”
“Saya mau ketemu Tobias! Saya RT di sini,” bentak Bu Ratna. Habis kesabarannya diremehkan Yanto.
“Kalau memang mau ngomong kenapa harus teriak-teriak? Nggak sopan itu namanya!”