09:30.
Terjebak dalam kemacetan yang sangat panjang adalah hal yang sangat membosankan. Hanin dan teman-temannya berusaha menghibur diri dengan bersenda gurau.
Beberapa saat lalu, Mita mendapatkan pesan dari Mala, mobil Mala tertinggal di belakang karena salah masuk tol. Mobil Mala mengambil jalur masuk ke tol arah puncak sehingga Mala harus kembali lagi ke Bogor, lalu memutar balik ke arah Jakarta.
“Mataku perih banget, nih. Aku belum tidur semalaman,” kata Haris sambil mengucek matanya dan mengernyit.
“Serius, Ris? Kamu mau gantian nyetir sama Nunu?” tanya Hanin cemas.
“Enggak usah, Nin, enggak apa-apa, kok. Aku masih kuat,” jawab Haris.
“Bahaya, Ris. Jangan maksain. Mending kamu tidur di mobil depan, ya. Aku telepon Nunu sekarang,” kata Hanin sambil mencari hape di dalam tas.
“Kamu kenapa enggak bilang kalau belum tidur, Ris. Tahu gitu, kan, kamu enggak usah nyetir,” ucap Bowo yang duduk di samping kursi sopir.
Hanin segera menghubungi Nunu. Posisinya berada di depan mobil Hanin. Nunu berhenti di pinggir jalan, lalu bertukar dengan Haris. Sesaat Haris menolak dan ingin tetap mengemudi, tetapi Hanin dan anak-anak lainnya memaksa. Akhirnya, dia pun menurut.
Mereka lalu melanjutkan perjalanan. Karena masih terjebak padatnya lalu lintas, Eza pun mengusulkan untuk mendokumentasikan perjalanan mereka dengan kamera semi-SLR milik Hanin.
Sebenarnya, kamera ini bukan milik Hanin, tapi milik ayahnya. Dulu, saat duduk di bangku SMP, Hanin sempat bercita-cita seperti ayahnya. Ya, ayah Hanin adalah seorang pewarta foto, fotografer berita yang sudah malang-melintang di dunia wartawan sejak Hanin belum lahir.
Saat Eza mengatakan untuk mendokumentasikan perjalanan, lagi-lagi Hanin merasakan bulu kuduk di lehernya berdiri. Tiba-tiba, terasa sebuah sentakan di kepala Hanin yang membuatnya teringat sebuah film horor. Hanin meringis dan merasa tangannya bergetar. Hanin merasa sedikit ketakutan, tapi dia tetap meraih kamera di dalam tas, dan mulai mengatur dengan mode cam recorder, lalu mulai merekam sambil menghela napas panjang. Hanin berusaha menenangkan diri, dan mengatakan bahwa itu hanya perasaannya saja.
Setelah kira-kira satu jam perjalanan, mobil yang Hanin tumpangi terpisah dengan mobil silver yang sedari tadi berada di depan mobil Hanin. Nunu membelokkan mobil ke kanan, ke arah jalur alternatif menuju Pelabuhan Ratu, sedangkan mobil silver sepertinya lurus ke arah kota.
Hanin langsung meraih hapenya dan menghubungi Ika yang berada di mobil silver.
“Halo, Ka? Kita pisah jalan, nih.”
“Iya, Nin, kalian ngambil jalan alternatif, ya?”
“Iya, kalian lewat kota, ya? Kata Nunu, lewat kota macet, jadi mending lewat alternatif aja.”
“Iya, sih. Ya udahlah, kita ketemu aja nanti di Pelabuhan Ratu, ya.”
“Oke, Ka, bye.”
Ketika Hanin hendak menutup telepon, terdengar seseorang berseru dari seberang, “Nin ...!”
“Ya, Ka.”
“Kata anak-anak, hati-hati lewat sana, ya. Bahaya, jalanan sepi dan naik-turun kayak puncak. Terus suka ada begal. Kalian hati-hati, ya.”
“Iya, Ka. Makasih udah ngingetin kita. Kamu juga hati-hati,” kata Hanin sambil menutup telepon.
Sambil menggigit bibir, Hanin menatap anak-anak lain. “Kata mereka, lewat sini bahaya,” ujar Hanin cemas.
“Enggak, enggak. Santai aja, Nin. Enggak apa-apa, kok. Aku tahu jalan ini,” kata Iki menenangkan.
“Bismillah aja lah,” sahut Adi.
“Iya. Santai aja,” kata Eza.
Hanin mengangguk pelan, berusaha untuk percaya dengan teman-temannya seraya kembali memasukkan hapenya dalam tas.
Ternyata benar. Jalanan sepi sekali, naik-turun, dan berlika-liku. Soal begal, sampai sekarang belum terjadi apa-apa. Semoga saja tidak terjadi apa-apa.