ARUDIA

Onet Adithia Rizlan
Chapter #2

A R U D I A

Akhirnya impianku untuk tinggal di sebuah kota kecil yang tenang dan nyaman menjadi kenyataan. Sekarang aku sudah berdiri di depan sebuah rumah berarsitektur Art Nouveau dengan halaman depan yang lumayan luas. Khas rumah-rumah orang Belanda jaman dulu. Halaman rumah ditumbuhi rumput yang dipotong pendek. Ada juga beberapa pohon palem dan kamboja merah yang menjulang di pinggir halaman, sedangkan di halaman samping tumbuh satu-dua pohon. Sawo kecik, mangga, kuini serta ada tanaman kembang sepatu, kenanga dan melati. Sesaat kemudian aku menoleh ke bagian atas bangunan rumah. Terdapat loteng dengan jendela kaca berdaun dua berbingkai persegi panjang. Ada balkon kecil berada tepat di tengah bagian loteng yang sedikit menjorok ke dalam seperti ceruk. Cat dinding bangunan yang berwarna putih memang terlihat kusam, namun rumah tua ini tetap tak kehilangan pesonanya. Malah kekusaman warna dindingnya semakin membuat keseluruhan bangunan menjadi antik dan menarik.

Bangunan rumah yang berdiri kokoh di depanku sekarang, mengingatkan pada kompleks perumahan pegawai Jawatan Kereta Api yang berada di jalan Jawa, di kota asalku, Medan. Sayangnya perumahan itu sudah rata dengan tanah, raib bersama berjuta kenangan di dalamnya, berganti dengan mal mewah. Aku masih merenung sambil memandangi rumah besar bergaya Eropa di depanku. Bangunan seperti ini juga banyak terdapat di pulau Jawa. Rumah-rumah administratur perkebunan atau kantor-kantor dagang peninggalan VOC.

“Semua koper dan tas sudah saya taruh di beranda,” suara Pak Tua, sopir taksi yang kutumpangi, menyadarkanku dari keasyikan memandangi bangunan rumah.

“Oh ya, terima kasih, Pak,” buru-buru mengambil uang dari saku dan memberinya pada Pak Tua sopir taksi.

“Kalau ada apa-apa hubungi saya saja,” ujarnya sambil melangkah menuju taksinya yang terparkir di halaman rumah dengan mesin yang masih menyala.

“Maksudnya, Pak?” tanyaku heran.

Lelaki tua itu berhenti di dekat pintu taksi dan menoleh.

“Kau orang baru di sini, Nak. Belum punya kenalan, kan?”

“Tentu saja belum,” jawabku jujur.

“Ya, kamu harus lebih waspada. Nama saya Zainal, hubungi saja perusahaan taksi ini kalau kau perlu bantuan. Itu nomor teleponnya tertera di pintu taksi, catatlah. Oh ya, kalau tiba-tiba saja kau merasa terjebak dan tak tahu jalan pulang, sebut saja nama Tuhanmu, itu sudah cukup!”

Aku ingin bertanya lagi, tapi lelaki tua sopir taksi yang mengaku bernama Zainal itu terlanjur masuk ke dalam taksinya kemudian bergegas meluncur meninggalkan halaman rumah, menyisakan deru yang menerbangkan debu bercampur bau asap pembakaran dari knalpot mobil yang terasa perih di mata.

Langit senja yang cerah tiba-tiba saja berganti mendung. Aku melangkah menuju rumah. Di lantai beranda dekat pintu masuk, aku melihat koper-koper dan tas telah tersusun rapi. Pelayanan yang baik dari seorang sopir taksi. Tidak ada ruginya memberi Pak Zainal uang tip. Pelayanannya memang bagus. Aku merogoh saku celana dan mengambil kunci rumah. Ada beberapa kunci yang dijadikan satu dalam sebuah gantungan berbentuk bulat terbuat dari bahan stainless bergambar sepasang kuda bersayap. 

Baru saja membuka pintu rumah, hujan pun turun dengan begitu derasnya bagai ditumpahkan dari langit. Buru-buru aku memasukkan koper-koper dan tas ke dalam rumah kemudian menutupkan pintu serta menguncinya. Di dalam ruangan suasananya agak gelap dan aku mencari-cari sakelar lampu dengan menyalakan telepon selular. Lumayanlah, cahaya flash dari telepon selular bisa sedikit membantu penglihatan.

Ah, ini dia.

Sakelar lampu kutemukan pada dinding pemisah antara ruang tamu dan ruang tengah. Memang aku bukan saja orang baru di kota kecil ini, tapi juga di rumahku sendiri.

 Sejak pertamakali melihat iklan rumah bergaya Art Nouveau di sebuah situs Broker Properti sampai akhirnya setuju untuk membeli, belum sekali pun aku melihatnya secara langsung, kecuali hanya melihat foto-fotonya di halaman situs. Aku memang terlanjur jatuh hati pada rumah ini dan tak ingin ada orang lain yang lebih dulu melakukan penawaran. Sekarang rumah ini sudah jadi milikku.

Klik!

Aku menekan sakelar, lampu ruang tamu menyala. Sebuah lampu gantung berukir antik bertingkat tiga, persis seperti foto yang kulihat di halaman situs Broker Properti. Di ruang tamu ada seperangkat sofa dan meja serta bufet bergaya renaisans, tapi aku yakin itu cuma imitasi, kalau yang asli tentu saja sudah jadi barang antik dan harganya pasti mahal. Puas menikmati desain interior dan perabotan di ruang tamu, aku melangkah menuju ruang tengah, cahaya dari ruang tamu membias ke ruang tengah dan aku kembali mencari-cari sakelar lampu di ruangan itu. 

Sakelar kutemukan lalu menekannya, klik! Lampu ruangan tengah menyala terang. Lagi-lagi sebuah lampu gantung berukir antik tepat di atas meja makan model minimalis dilengkapi enam kursi bersandaran rendah. Kuedarkan pandangan menyaput seluruh ruang tengah yang sedikit lebih luas dibandingkan dengan ruang tamu. Pada dinding pembatas antara ruang tamu dan ruang tengah, tergantung sebuah lukisan cat minyak dengan bingkai keemasan. Aku tak memahami jenis lukisannya. Abstrak mungkin, karena hanya sapuan bermacam warna yang menumpuk dan saling tindih, tapi menurutku komposisinya bagus. Lukisan itu menarik juga untuk dilihat. Di bawah lukisan yang tergantung di dinding ada sebuah bufet setinggi satu setengah meter berlaci enam dengan empat pintu terbuat dari kayu mahogani berwarna merah marun, di atas bufet itu ada sebuah telepon antik model tanduk berwarna hitam.

 Di sebelah utara ruang tengah terdapat satu set meja kursi terbuat dari kayu jati belanda dengan bantalan busa bercorak Burberry. Mataku tetap mengawasi tiap jengkal ruangan hingga akhirnya aku menoleh ke sebelah selatan, di sana ada pintu dan jendela kaca berdaun dua ditutupi oleh gorden tipis tembus pandang. Aku melangkah menuju jendela dan coba melongok keluar. Meski agak gelap, tapi di luar terlihat seperangkat kursi dan meja terbuat dari rotan. Ada juga beberapa pot bunga dari tanah liat yang tersusun rapi di dekat tangga beranda dengan tiga undakan rendah menurun ke arah halaman samping.

Kilat menyambar tiba-tiba disertai suara gemuruh petir. Aku terkejut, tapi sinar terang dari kilatan petir tadi membuatku dapat melihat dengan jelas keadaan di luar. Sempat terlihat ada jalan selebar satu meter terbuat dari susunan batu-batu kali, membelah halaman samping yang ditumbuhi oleh pepohonan dan bunga-bunga. Suasana di luar kembali gelap. Aku memang belum menyalakan lampu beranda samping. Sekarang baru pukul enam sore, tapi sudah seperti pukul delapan malam. Suasana gelap di luar karena pengaruh langit mendung yang menghitam itu. Hujan masih saja turun mengguyur dan sesekali suara gemuruh petir dan cahaya kilat menyambar-nyambar. 

 Kriiing … kriiing … kriiing … suara telepon di atas bufet ruang tengah berdering. Bergegas aku menuju bufet dan meraih gagang telepon.

“Hallo,”

“Hallo, Bung Rizal?”

“Ya, betul. Ini siapa?”

“Saya Handoko dari Metro Properti. Bagaimana rumahnya, memuaskan?”

“Bagus, sesuai dengan harapan saya.”

“Perabotannya bagaimana?” 

“Mmm ... lumayanlah. Ada yang model minimalis juga, jadi kesannya tidak terlalu berat,” aku tertawa pelan.

“Itu sudah jadi pertimbangan kami. Oh ya, tapi maaf saya tidak bisa mengantar anda ke sana. Jadwal saya padat sekali, seandainya kepindahan anda bisa diundur beberapa hari lagi tentu saya akan ikut mengantar.”

“Ah, tidak apa-apa, yang penting sekarang saya sudah berada di rumah impian saya.”

“Sejauh ini tidak ada masalah, kan?”

“Tidak, tidak. Semuanya baik-baik saja.”

“Oke-lah kalau begitu, selamat sore.”

“Selamat sore.”

Pembicaraan telepon dengan agen properti itu berakhir. Sayup-sayup terdengar suara azan maghrib dari kejauhan. Bergegas menuju sakelar lampu di dekat tangga sebelah selatan. Lalu menyalakan lampu beranda depan dan samping. Setelah itu aku menapaki tangga dan naik menuju ke lantai atas. Sesampainya di ujung anak tangga terakhir, aku menemukan selasar lebar satu setengah meter mengarah ke utara. Kembali menyalakan flash dari handphone kemudian menyusuri selasar yang gelap dan aku menemukan sakelar lampu di ujung selasar.

Klik!

Sakelar lampu kutekan dan cahaya terang menyala dari lampu gantung berukir indah. Fiuh! Rumah ini sangat artistik. Aku memeriksa ruangan di lantai atas. Ada satu kamar tidur utama yang lumayan luas dan satu kamar tidur lebih kecil dari kamar utama serta satu kamar mandi yang terpisah dari kamar tidur. Ada juga ruang keluarga yang agak luas dan cukup nyaman dengan seperangkat sofa, meja dan lemari yang mempunyai rak dan difungsikan untuk menaruh perangkat audio visual. Aku tersenyum sendiri ketika melihat televisi layar datar dengan seperangkat home theater berada di ruangan ini, sungguh kelihatan modern bila dibandingkan dengan rumah kuno ini. Mengenai kamar mandi yang tidak menyatu dengan kamar tidur, aku memang tidak merasa keberatan. Setiap jaman memang punya gaya sendiri dan aku tak ingin menggantinya. Biarlah, aku lebih suka rumah ini dalam bentuk aslinya saja.

Azan maghrib masih berkumandang dari kejauhan.

Masuk ke kamar tidur utama., menyalakan lampu dan mengamati isi di dalamnya. Ada sebuah spring bed besar dilengkapi nakas di kiri dan kanan yang di atasnya ditaruh lampu tidur dilengkapi kap berbentuk kelopak bunga terbuat dari bahan kaca berwarna putih susu. Di sebelah spring bed, sejarak tiga meter, ada sebuah lemari pakaian besar empat pintu. Di ujung kamar dekat jendela ada meja rias dan cermin besar dengan bingkai berukir. 

Sementara itu di luar hujan masih turun, aromanya menyeruak masuk dari ventilasi kamar. Sesekali cahaya kilat menyambar-nyambar dan sinarnya menerobos masuk lewat jendela. Aku melangkah mendekati jendela. Menyibakkan sedikit gorden tipis transparan dan melongok ke luar. Di bawah sana, jalan di depan rumah terlihat sepi. Garis-garis hujan terlihat jelas karena cahaya lampu jalan. Pohon kamboja di halaman rumah, bunganya berjatuhan dan berserakan di atas rerumputan yang basah. Aku mengarahkan pandangan ke rumah tetangga di seberang jalan. Lampu mereka juga sudah menyala. Puas mengamati suasana di luar rumah, aku pun melepas sepatu dan mengempaskan tubuh ke atas ranjang. Uggghhh ... capeknya!

***

Matahari pagi menerobos masuk ke kamar tidur dan membangunkanku dari kematian sementara. Perjalanan tujuh jam dari Medan – Arudia, yang kutempuh dengan kereta api memang membuat tubuh terasa letih dan akhirnya tertidur lelap setelah asyik mengamati setiap ceruk rumah yang baru kutempati ini.

Ughhh ....

Aku meregangkan tubuh sejenak dan bangkit dari ranjang kemudian melangkah keluar, tapi tidak langsung menuju kamar mandi melaikan turun ke bawah, mengambil koper-koper yang kemarin masih dibiarkan terbengkalai di ruang tamu. Sambil mengangkat koper aku mematikan lampu-lampu di luar rumah, lampu ruang tamu dan ruang tengah. Beberapa kali mondar-mandir dari lantai bawah ke lantai atas, aku sudah memindahkan semua koper-koper ke dalam kamar. Setelah itu aku pun mandi.

***

Jam sembilan pagi, matahari sudah terasa hangat menyentuh kulit. Aku berdiri di pinggir jalan depan rumah. Perut sudah terasa lapar dan menggeliat minta diisi. Meski belum melihat dapur, tapi aku yakin di sana tidak ada bahan makanan meskipun aku meminta pada Metro Properti untuk melengkapi rumah dengan lemari es dan peralatan memasak. 

Jalanan di depan rumah tidak terlalu ramai, hanya ada beberapa kendaraan yang berlalu lalang, tapi tidak ada tanda-tanda kalau di jalan ini akan dilalui kendaraan umum, karena hampir dua puluh menit berdiri menunggu, hanya beberapa kendaraan pribadi yang melintas. Tak sengaja aku melayangkan pandangan ke rumah di seberang, rumah tetangga yang letaknya persis berhadapan dengan rumahku. Di halaman rumah itu ada seorang perempuan seperti mengintai tindak-tandukku, mungkin sejak tadi. Ah, entahlah. Apa cuma perasaanku saja? Lantas untuk apa dia berdiri di balik tanaman anggrek itu tanpa melakukan aktivitas apa pun? Aneh saja pikirku. 

Lalu aku melambai ke arahnya sambil tersenyum.

“Selamat pagi, Nona. Saya baru pindah, sekarang kita bertetangga,” tegurku mencoba ramah dengan suara yang agak keras supaya terdengar olehnya di seberang sana.

Aneh, perempuan itu berbalik dan bergegas menuju beranda rumahnya tanpa menjawab atau apa salahnya tersenyum sedikit sebagai basa-basi? Dugaanku semakin kuat kalau dia memata-mataiku sejak tadi. Aku memandang ke sekitar. Baru aku sadar kalau letak rumah di sini berjauhan tidak seperti di kota asalku, malah banyak rumah yang berdempetan satu sama lain. Aku mengira-ngira letak rumah tetangga di kiri dan kanan berjarak sekitar lima puluhan meter lebih dan rumah yang di seberang itu sekitar tiga-empat puluhan meter. Semua rumah di daerah ini adalah rumah peninggalan Belanda dengan arsitektur Art Nouveau yang menarik dan terkesan antik.

Aku menarik napas sambil menyeka pelipis yang sedikit berpeluh terkena sinar matahari pagi yang agak terik. Kemudian aku melirik Expedition seri dua di pergelangan tangan, pukul sepuluh lebih tiga puluh menit. Susah juga alat transportasi di pemukiman ini, rutukku kesal. Akhirnya aku jadi tertawa sendiri. Lumayan juga kalau begini, bisa menghemat pengeluaran. Maksud hati mau sarapan pagi, tapi hitungannya sudah masuk waktu makan siang. Sudah satu setengah jam aku berdiri di pinggir jalan menunggu angkutan umum, tapi tak ada satu pun yang lewat. 

Aku menatap ke kejauhan, jalan yang beraspal bagus itu terlihat sepi sampai ke batas penglihatanku pada ujung jalan yang menikung ke kiri dan menghilang pada belukar kebun sawit yang menghutan. Aku kembali mengedarkan pandangan dan tanpa sengaja singgah pada rumah tetangga di seberang. Sempat terkejut dibuatnya. Perempuan itu lagi! Dia tahu kalau aku melihatnya kemudian bergegas meninggalkan gerumbulan kembang sepatu yang sedang berbunga lebat. Gerak-geriknya mencurigakan, pasti dia sedang memata-mataiku. Pertama kali perempuan itu berlindung di balik tanaman anggrek, sekarang di rerimbunan kembang sepatu yang tingginya hampir dua meter. Heran juga, kapan dia kembali keluar dan mengendap di halaman sambil mengintai untuk yang kedua kalinya? Aku terus memandangi perempuan itu berjalan hingga mencapai serambi kemudian membuka pintu lalu masuk dengan tergesa-gesa dan menghilang ke dalam rumah. Ah, memang sebaiknya aku datang memperkenalkan diri pada tetangga di seberang, karena rumah itu yang paling dekat jaraknya dengan rumahku. Tidak ada salahnya memperkenalkan diri lebih dulu karena sebagai orang baru di lingkungan ini, aku yang berkewajiban mendatangi mereka.

“Perlu tumpangan?”

Aku tersentak kaget, tiba-tiba saja ada mobil Jeep keluaran tahun tujuh puluhan berhenti di depanku. Pengemudinya seorang lelaki paruh baya memakai topi pet warna hitam. Kumisnya memutih dan rambutnya juga, meski tertutup oleh topi, tapi aku bisa melihat ujung-ujung rambutnya memutih semua. Lelaki itu masih menatapku.

“Mau ke kota, kan?” dia bersuara lagi.

“Iya, Pak,” sahutku dengan rasa terkejut yang belum hilang. Apa tadi aku melamun hingga tak memperhatikan kapan datangnya lelaki pengendara mobil ini?

“Ayo, naik!” ujarnya sambil memberi isyarat dengan tarikan kepala ke samping.

Aku mengangguk. Bergegas membuka pintu mobil Jeep berwarna hijau daun itu, lalu naik dan mengempaskan pantatku ke jok kulit yang sedikit pudar tapi masih cukup terasa empuk untuk diduduki. Mobil perlahan bergerak dan meluncur tenang di jalanan yang lengang.

“Kau orang baru di sini?” suara lelaki berambut dan berkumis putih itu terdengar pelan.

“Betul, Pak.”

“Di rumah nomor 27 itu, kan?”

Aku melirik ke arah lelaki yang sedang menyetir di sebelahku.

“Iya, nomor 27.”

“Rumah itu dulunya kepunyaan keluarga Herman. Saya tahu betul sejarahnya.”

“Tentu saja rumah itu bersejarah, namanya juga rumah kuno peninggalan Belanda,” sahutku sambil tersenyum.

Lelaki di sebelahku itu terdengar seperti mendengus. Dia mempercepat laju mobil dengan menekan pedal gas sedikit agak kasar. Wajahnya berubah kelam. Sepertinya dia kurang suka dengan perkataanku tadi. Mungkin saja dia merasa kulecehkan.

“Dari mana asalmu?” 

“Saya dari Medan, Pak.”

“Kenapa kau pindah ke kota kecil ini, bukankah Medan itu kota besar?”

“Saya bosan tinggal di kota dan memang saya ingin bekerja dengan tenang ditempat yang tepat seperti kota kecil ini.”

“Kerja di sini? Mau kerja apa kau di kota kecil ini?” lelaki itu menoleh padaku.

“Saya penulis, Pak,” jawabku penuh rasa bangga.

Lelaki itu memperhatikanku sebentar dan kembali menatap lurus ke depan. Dia tersenyum dan menurutku hampir seperti menyeringai. Saat itu aku sempat meliriknya agak lama. Meski sedikit tertutup dengan topi pet yang dipakainya, tapi aku bisa melihat lelaki itu tidak memiliki alis mata. Aneh! Apakah dia mencukurnya?

“Siapa namamu?” 

“Rizal, Pak.”

“Rizal apa?”

“Rizal Effendi."

Lelaki tak beralis mata itu menatapku sekilas, kemudian dia beralih pada jalanan di depan. Memandang lurus jalan sepi yang kami lalui. Di luar sana matahari semakin terik dan terlihat uap panas membayang di atas aspal jalan. Aku melirik jam di pergelangan tangan kananku. Pukul sebelas tepat. Ah, tidak terasa hampir tiga puluh menit kami berkendara. 

“Cuaca di sini luar biasa panas ya, Pak? Baru jam sebelas saja teriknya sudah seperti ini,” ujarku membuka pembicaraan.

“Kau yang menulis Serenity, Hologram dan Hitam Atmosfer?” 

Aku terkejut dan hampir tak percaya kalau lelaki yang kunilai sedikit aneh ini tahu betul judul buku yang pernah kutulis. Hampir tak percaya rasanya, kalau di kota kecil seperti ini ada juga orang yang hapal semua judul tulisanku. Bahkan bukan hanya judul, tapi urut-urutannya juga betul. Karena memang aku menulis novel trilogi.

“Ya, tapi wajahmu yang asli sedikit berbeda dengan yang ada di buku,” komentar lelaki itu dingin.

“Mungkin itu pengaruh fotografi saja, Pak,” jawabku sekenanya.

“Meski menarik, tapi aku tak suka ceritamu,” ujarnya ketus.

Wah, aku menemukan seorang kritikus di dalam mobil Jeep tua ini. Kutarik nafas perlahan. Meskipun tidak alergi pada kritik, tapi tanpa alasan yang jelas tentu saja aku sedikit terusik. Aku coba tersenyum dan menatap lelaki yang sedang menyetir di sebelahku.

“Boleh tahu alasannya kenapa Bapak tidak suka pada tulisanku?”

“Kau terlalu monoton, bercerita dengan tokoh aku di setiap bukumu. Seolah-olah kau tidak mampu menciptakan tokoh lain dan kau selalu ingin menjadi pemeran utama. Oh ya, kau juga terlalu ingin tahu dan suka mencampuri urusan orang lain. Di novel Serenity, kau mencampuri urusan perempuan yang dihamili kekasihnya. Kalau mau jadi pahlawan kenapa tidak kau kawini saja perempuan itu? Aku juga benci Hologram, kau mengejar-ngejar dan ingin menyelidiki seorang polisi yang kau curigai sebagai bandar narkoba dan penganut ajaran sesat, padahal itu bukan tugasmu, di Hologram itu kau cuma jadi seorang pekerja diskotek. Ah, di novel Hitam Atmosfer! Kau mengingkari kebebasan orang untuk menjadi dirinya sendiri. Kau memuja kebebasan, tapi untuk dirimu sendiri bukan untuk orang lain. Menurutku kau itu cuma seorang novelis narsis sama seperti film-film India yang tokohnya selalu benar dan menang. Padahal kau tahu dalam kehidupan ini banyak orang yang benar, tetapi kalah!”

Aku terdiam sejenak. Deru mobil masih terdengar berisik di luar.

“Itu cuma fiksi, Pak. Saya menulis apa yang ada di dalam kepala saya.”

Lihat selengkapnya