Rasa kantuk menyerang gadis cantik yang sedari tadi berusaha menyimak apa yang dikatakan dosen. Materi hari ini sangat membosankan terdengar di telinganya. Semalam, ia harus mengerjakan tugas yang diberikan ayahnya. Satu kewajibannya di malam Rabu.
Ia tak sadar kapan matanya tertutup, tapi saat membuka matanya, semua orang menataap ke arahnya. Termasuk dosen killer yang sedang mengajar di depan. Ia hanya menggaruk tekuknya yang tidak gatal, menyembunyikan rasa malu untuk segera menghamburkan wajahnya ke dalam bantal. Ini sama malunya dengan menyontek saat ujian.
“Rachel, kamu berniat tidur di kelas saya?!” Suara tegas nan lantang itu membuatnya terpaku. Wajah tampan dengan rahang mengeras dosen muda itu tertuju padanya dengan amarah.
“Maaf, Pak. Saya gak berniat tidur, Pak,” jawab Rachel dengan tergagap. Ia merasa sedang di-interview saat ini. Rasa kantuknya pun menghilang entah ke mana.
“Basuh wajahmu sekarang dan kembali masuk!”
Perkataan tegas itu membuat Rachel dan seisi kelas terkejut. Mata setiap sudut pandang tertuju pada dosen muda di depan, termasuk Rachel. Ia merasa bagai tidak percaya dengan apa yang didengar.
“Kamu tidak mendengarkan apa yang saya katakan?!”
Rachel terkejut, begitu juga dengan seisi kelas. Kesadaran mereka kembali dan menoleh pada Rachel yang kini berdiri. Sebagian mereka menatap Rachel tak suka dan yang lainnya menatap dosen seolah musuh.
“Nih dosen pasti ngambil kesempatan.” Rachel dapat mendengar desas-desus tetangga yang menyerangnya dan dosen itu.
“Gak adil banget. Giliran sama yang cantik baik, dosen sarap!”
“Jangan dibawa hati ya, Chel sama tuh dosen!”
Rachel tak ingin menanggapi dengan perkataan mereka yang sudah biasa didengarnya. Ia meninggalkan kelas dan menuju ke kamar mandi. Membasuh wajahnya yang sebenarnya tidak mengantuk lagi. Mendesah pelan saat ia memikirkan apa yang dikatakan sahabatnya.
Ia menatap wajahnya, wajah blasteran Portugis-Indonesia. Mata biru bening yang mengikuti pola lingkaran Indonesia. Hidung mancung kecil seperti bundanya. Rambut coklat gelombang dengan poni samping yang menutupi sebagian dahinya. Bibir tipis dengan lekukan yang indah, menggoda. Wajah yang tidak terlalu lancip dan tidak terlalu oval. Ya, setidaknya itu yang dikatakan orang tentang rupanya.
Bibir indahnya tersenyum, dengan semua inilah ia tak berani membuka hati. Saat awal kuliah saja ia ingin mengubah menjadi gadis yang terlihat culun tapi orang tuanya dan sahabat dekatnya melarang. Ia bahkan berusaha membujuk, tapi ancaman akan mengambil fasilitasnya membuat nyalinya menciut.
Seketika ia tersadar saat pintu kamar mandi diketuk. Ia melihat jam tangannya yang menunjukkan pukul dua siang. Jam kuliahnya telah berakhir dan pastinya dosen killer itu telah keluar. “Gue bengong lama banget ya?” gumamnya.
“Chel, lo di dalam ‘kan?!” tanya suara yang sangat ia kenali disertai dengan ketukan pintu.
“Iya, Silvy. Gue di dalam,” jawab Rachel sembari mengelap wajahnya dengan tisu. Sekarang pasti ia akan mendapatkan ocehan dari Silvy.
“Lo tidur di dalam?”
Rachel keluar dan mendapatkan wajah kesal dari Silvy. “Maaf, Sil,” pintanya menghindar dari ocehan.
“Lo tuh udah setengah jam di kamar mandi tau, gak! Ngapain lo?!”
“Gue melamun tadi,” jawab Rachel lalu menyengir tak berdosa. “Lagian, lo tau sendiri gue suka melamun di kamar mandi,” tambahnya.
“Pak Eros suruh gue nyusul lo,” ujar Silvy. Mereka berjalan meninggalkan kamar mandi. “Kayaknya tuh dosen suka sama lo deh,” lanjutnya sembari menyenggol lengan Rachel.
Rachel tersenyum, sudah biasa mendengar kalimat itu. Bukannya sombong, tapi ia benar-benar lelah dengan kalimat itu. Banyak pria yang mendekatinya tapi tak berani menembak langsung. Mereka seakan menghilang ketika tau ia anak dari pemilik salah satu perusahaan ternama di Indonesia.
Ia tidak menanggapi perkataan Sillvy, mengamit tangan Silvy untuk mempercepat langkah. Ada suatu tempat yang ingin ia tunjukkan pada sahabatnya. Tempat yang ia temukan saat ia kehujanan seminggu yang lalu.
*****
“Mau ke mana sih, Chel?” tanya Silvy saat mobil Rachel berhenti di salah satu tempat kumuh Jakarta. Ia menatap jijik sekelilingnya sembari terus mengikuti sahabatnya.
Tanah becek dengan kubang air di mana-mana. Lalat mengelilingi sampah-sampah yang bercampur dengan tanah dan kotoran. Nyamuk menyerbu senang kulit mereka begitu mereka turun tadi. Rumah yang terbuat dari kayu bekas dan ditempeli dengan kardus usang. Bau busuk masih bisa tercium meski dengan hidung tertutup.
Silvy menahan diri untuk tidak muntah. Di umurnya yang meninjak 19 tahun, ini untuk pertama kalinya ia ke tempat seperti ini. “Chel, ngapain kita ke sini?” Ia kembali bersuara.
Tak ada jawaban dari Rachel. Ia hanya mengamit pergelangan tangan Silvy lebih erat. Takut-takut sahabatnya itu kabur sebelum sampai tujuan. Ia tersenyum saat sebuah bangunan kayu dengan warna hijau menyapanya. Dengan hati-hati ia melewati kubangan air yang sedikit lebih besar dengan yang mereka lewati tadi. Semua mata tertuju padanya saat ia berdiri di depan pintu dengan Silvy di sampingnya.
“Kak Rachel!” panggil semua anak yang ada di dalam sana serentak dengan senyum yang mengembang. Beberapa dari mereka berlari ke arahnya. “Kami tau Kakak pasti datang,” ujar mereka.
Rachel tersenyum dan mengacak rambut Ayu, anak yang memberinya tempat untuk berteduh saat kehujanan. “Kakak ‘kan udah janji sama kalian!” ujarnya. “Kakak boleh masuk gak?” tanyanya.