Rachel menatap Silvy yang sedari tadi melamun. Ia bahkan tak mendengarkan apa yang Eros jelaskan. Melihat itu, pikirannya pun melayang memikirkan kejadian dua malam yang lalu. Malam yang menghilangkan senyuman di wajah Silvy.
Pagi itu ia terbangun dengan Silvy yang tidur di sampingnya dengan pakaian lengkap. Membuatnya bernapas lega melihat itu. Namun, apa ini? Sudah dua hari sahabatnya bahkan tidak berbicara padanya sepatah kata pun. Rasa bersalah semakin hadir di hatinya, membuatnya membenci diri sendiri.
Ia menunjuk atap di atasnya. “Pak, Silvy sakit, apa saya boleh mengantarnya ke UKS?” tanyanya.
Eros mengangguk tegas tanpa berkata sepatah kata pun lalu melanjutkan penjelasannya. Ia masih terlalu kecewa dengan jawaban Rachel tentang pertukaran mahasiswa. Namun, gadis itu bahkan tidak peduli dengan perasaannya.
Kedua tangan Rachel mengangkat Silvy lalu meletakkan sebelah tangan Silvy di pundaknya. Mereka berjalan menuju UKS dengan wajah lesu Silvy yang seolah ingin pingsan. Ada banyak duka yang dapat terlihat dari wajah cantik yang saat ini tidak dapat tersenyum.
“Rachel!” Suara seorang pria mengalihkan Rachel dari wajah Silvy.
“Kak Ray? Kakak kenapa di sini?” tanya Rachel. Ia membaringkan Silvy di atas ranjang.
“Hari ini Kakak yang bertugas di sini. Teman kamu sakit apa?” tanya Ray. Ia melihat Silvy yang terbaring tak berdaya. Bahkan gadis itu seolah tidak tau dia ada di mana.
“Aku juga gak tau, Kak. Dia udah dua hari begini,” jawab Rachel. “Badannya panas tapi dia gak mau dibawa ke rumah sakit.”
Ray memberi segelas air panas pada Rachel. “Berikan padanya!” ujarnya. Ia lalu mengambil handuk kecil dan membasahkannya. Meletakkanya di dahi Silvy. “Sebaiknya kita menunggunya di luar saja!” Ia menarik tangan Rachel keluar kamar.
Mereka duduk berseblahan di depan UKS. Ray menatap Rachel membuat gadis itu gugup. Keduanya sama-sama diam untuk beberapa saat.
“Kenapa kamu gak pakai kacamata hari ini?” tanya Ray mengalah karena sedari tadi ia berharap Rachel yang memulainya. Ia memberanikan diri untuk menyentuh pinggiran mata Rachel. Menatap mata indah yang selalu membuatnya terpukau.
“Aku lupa! Aku juga kepikiran tetang Silvy terus,” jawab Rachel. Ia sebenarnya sangat ingin menceritakan kekhawatirannya pada Ray tapi ini adalah aib dari sahabatnya.
“Kalau kamu mau, kamu bisa cerita sama aku.” Ray masih menatap Rachel yang menunduk. Gadis cantiknya itu menangis dalam diam.
Ray menghembuskan napasnya. Telah dua hari ia tidak melihat gadis ini dan sekarang ia malah melihatnya menangis. “Kamu tau, Chel. Di dunia ini ada banyak hal yang aku benci tapi yang paling aku benci adalah melihat gadis yang kucintai menangis!” ujarnya.
Kalimat itu membuat Rachel menoleh tapi pria itu malah berdiri dan meninggalkannya sendirian. Ia tidak tau apakah ia pantas untuk tersenyum saat Silvy dalam keadaan lemah karena cintanya terbalas tapi tanpa bisa ia cegah bibirnya melengkung. Kebahagiaan menyeruak memasuki hatinya.
Ia melangkah masuk melihat kondisi Silvy yang semakin melemah. Tubuh gadis berdarah jawa itu semakin memanas. Dalam mata yang terpejam matanya mengeluarkan air yang sebening kristal. Rachel segera menghubungi sopirnya untuk menjemputnya.
*****
Seorang pembantu menghampiri keluarga yang sedang memakan sarapan pagi mereka. Ia membungkuk lalu menghadap tuannya. “Maaf, saya mengganggu sarapan Tuan, Nyonya dan Non tapi di luar ada temannya Non Rachel,” ujarnya.
“Teman?” Arya sedikit terkejut. Bukannya teman anaknya itu sedang jatuh sakit?
“Siapa, Bi? Silvy ‘kan lagi sakit,” ujar Rachel. Ia tidak punya teman selain gadis itu.
Pembantu itu diam, ia bingung bagaimana cara mengatakannya. Putri majikannya itu belum pernah didatangi oleh seorang pria mana pun. “Bukan Non Silvy, Non. Ini laki-laki,” jawabnya. Ia dapat melihat wajah bingung dari semua majikannya itu.
“Siapa, Chel?” tanya Attania. Ia menatap putri sematang wayangnya yang juga kebingungan.
“Aku juga gak tau, Bun. Aku liat aja dulu ya.” Rachel pergi meninggalkan meja makan. Ia sangat penasaran pria mana yang berani mendatangi rumahnya untuk menemuinya. Dari kejauhan, ia dapat melihat seorang pria duduk di ruang tamu sembari memainkan ponselnya. “Kak Ray?!” ujarnya saat dapat melihat dengan jelas. Ia sangat terkejut, bagaimana bisa ia mengetahui alamat rumahnya.
Pria itu menoleh lalu tersenyum yang dapat membuat seorang wanita meleleh di tempat. “Hai, Chel!” sapanya. Ia berdiri dari duduknya dan melambaikan tangannya di depan wajah Rachel yang melamun.
“Iya, Kak!” ujar Rachel ketika tersadar dari lamunannya. “Kok, Kakak tau rumah aku?” tanyanya.
“Siapa yang gak ….”
“Siapa, Chel?” Belum sempat Ray menjawab pertanyaan gadis pujaannya, sebuah suara berat membuat jantungnya berdegup kencang.