Sejak masuk ke dalam mobil Ray, Rachel hanya diam sembari terus mengamati wajah tanpa Ray yang sedang menyetir. Ia memikirkan apa yang dikatakan Nevan beberapa jam lalu. Kehilangan cinta tanpa sempat merasa bahagia dengan cinta itu.
Sekuat apa pun cinta yang kita miliki, sesering apa pun kita berusaha memperlihatkannya itu akan percuma jika tak ada kata yang mengutarakannya. Hati akan tetap bersembunyi di tempatnya dengan keadaan ingin berontak saat mulut tetap memilih bungkam. Menatap dari kajahuan ataupun dekat akan tetap sama jika kau tetap tak bisa mencegahnya bersama yang lain.
“Chel, kamu kenapa liatin Kakak gitu?” tanya Ray. Ia menepikan mobil agar lebih leluasa menatap wajah Rachel saat berbicara.
“Eh, enggak kok, Kak. Aku gak papa,” ujar Rachel. Ia merasa panas di wajahnya saat mata elang Ray menatapnya. Membuat hatinya seakan berontak ingin keluar dari tempatnya bersemayam. “Bagaimana bisa aku mencintai pria ini sejak pertama kali bertemu? Tanpa sepatah kata romantis atau kencan buta?” batinnya. Ia lupa jika cinta bukanlah undangan saat ia ingin datang dan bukanlah kata permisi saat ia ingin pergi tapi cinta, satu cinta yang tidak memiliki target dan tujuan yang pasti ke mana ia akan berlabuh. Ia hanya akan berjalan seiring dengan takdir yang membawanya.
“Kamu kenapa, sayang?" tanya Ray ulang dengan menekan kata ‘sayang’. Ingin melihat wajah gadis itu saat ia menggodanya.
Wajah Rachel semakin memanas, ia menekuk wajahnya berusaha menyembunyikan wajahnya yang memerah. Mendengar kata sayang membuatnya melayang sekaligus bertanya apa itu dikatakan melalui hati atau hanya sekedar ungkap saja. Membuatnya tenggelam lalu ditinggalkan begitu saja.
“Jangan berpikir negatif terhadap cinta, Rachel!” Suara itu! Lagi-lagi Nevan muncul di antara mereka.
“Kak, bukannya tadi Kakak ajak aku jalan ya?” Rachel berusaha memecahkan keheningan dan tak peduli dengan sosok Nevan yang kini duduk di atas setir.
“Ya udah, yuk!” Ray kembali melajukan mobilnya. Wajahnya tak lepas dari senyuman yang sedikit pun tak memudar. Ia juga tidak tau mengapa ia bisa secinta ini dengan gadis yang terkenal sombong dan manja di hadapannya ini tapi yang pasti, ia sangat ingin memiliki gadis ini secara utuh.
*****
Wajah Rachel yang sedari tadi tidak nyaman dengan kehadiran Nevan kini tersenyum mendapati Ray yang membawanya ke bioskop. Salah satu tempat yang dilarang ayahnya.
“Kakak udah minta izin sama Ayah?” tanyanya ragu.
“Udah, sayang!” jawab Ray, lagi-lagi ia menekan kata ‘sayang’. Ia suka dengan kata itu yang membuat pipi Rachel bersemu.
Rachel berjalan mendahului Ray, bisa-bisa jantungnya terus lari marathon jika terus bersama pria tampan itu dan kenapa ayahnya selalu mengizinkannya dengan mudah jika bersama Ray?
“Sayang!” teriak Ray yang membuat semua pengunjung menatap ke arahnya. Mereka sangat mengenal siapa anak muda yang sedang kasmaran saat ini.
Mereka masuk ke dalam bioskop, tiket yang sudah dibelikan Ray adalah tiket kesukaannya, film horor. Rachel duduk di antara Ray dan Nevan yang terus mengikutinya sejak tadi. Mengganggu ketenangan Rachel karena Nevan bukanlah menonton tapi hanya menatapnya.
“Kalian kenapa suka banget nonton film bangsa aku?” tanya Nevan seolah ia tak pernah menjadi manusia. Ia melihat sekilas film itu lalu kembali menatap Rachel.
Pertanyaan itu nyaris membuat Rachel tertawa jika ia tidak menahannya. Ia masih cukup sadar bahwa di sini hanya ia yang bisa melihat dan mendengar Nevan. “Aku harus fokus ke film! Kasian Kak Ray udah ngajak nonton tapi aku malah gagal fokus karna ni hantu!” batinnya.
“Udah berapa kali aku bilang jangan ngumpatin aku! Mengumpat itu dosa!” ujar Nevan kembali membuat Rachel geram. Sejujurnya ia hanya merasa kesepian di alam sana walau banyak hantu wanita yang menyukainya tapi ia lebih suka berteman dengan manusia.
“Nevan, gue mohon, lo bisa pergi gak!?” batin Rachel mengusir.
Setelah mendengar permintaan itu, Nevan segera menghilang. “Huuuff!” lega Rachel. ia mengelus dadanya.
“Sayang, kamu kenapa?” tanya Ray khawatir. Ia menatap wajah Rachel yang terlihat gugup.