TERSESAT DUA DUNIA

Aldaaldifa
Chapter #9

Melted Heart

Salju turun perlahan mengubah nuansa menjadi putih. Angin pagi menyapa pepohonan tanpa daun. Suara burung berkicau dalam sarangnya, kedinginan untuk keluar. Jalanan Nampak sepi dari pengendara, hanya ada beberapa orang pejalan kaki dengan pakaian yang sangat tertutup.

Seorang pria duduk di sofa dengan ditemani segelas teh hangat dan televisi yang menyala. Tatapannya begitu kosong dan menusuk. Rambut panjang yang berantakan hampir menutupi sebagian wajahnya. Bibir pucat dengan luka jahitan yang tak mengurangi ketampanannya.

“Gavin, kita maindi yuk!” ajak Wira yang menatap lekat anaknya yang masih sangat lemah. Matanya berkaca-kaca menahan sedih akibat kejadian tiga tahun lalu.

Gavin berbalik, ia tersenyum melihat pria yang ia tunggu datang. “Pa, Gavin mau ketemu Rachel!” pintanya manja seperti anak berumur empat tahun yang meminta mainan. Bibir bawahnya menutupi bibir atasnya.

Pria yang dipanggil papa itu tersenyum kecut. “Gavin harus sembuh dulu kalau mau ketemu Rachel, ya!” ujarnya lembut sembari mengelus rambut putranya.

Tanpa berkata apa pun, Gavin berbalik. Ia kesal saat mendengar kata sembuh dan sakit. Menatap televisi yang menayangkan kartun Spongebob Squerpants. “Pa, kenapa sponbob-nya gak mau keluar dari kotak itu? Apa sponbob takut juga sama Gavin?” tanya Gavin polos namun matanya menetaskan ar mata.

Bila orang lain tertawa mendengarnya, Wira malah menangis. Papa mana yang tega melihat anaknya dalam keadaan seperti ini? Gangguan mental akibat kecelakan tanpa sengaja. “Spongebob gak takut sama Gavin, tapi Gavin potong rambut dulu yuk baru mandi,” ajaknya selembut mungkin.

“Gak! Gavin gak mau mandi! Buat apa Gavin mandi kalau semua orang lari liat Gavin!?” teriaknya keras sembari membuang semuanya yang ada di atas meja.

“Aaakh!” Wira teriak saat merasakan teh panas yang mengenai tangannya.

“Papa! Papa maafin Gavin! Gavin janji gak bakal minum teh lagi!” pinta Gavin, tangisnya mengalir deras. Tubuhnya bergetar ketakutan.

“Gak papa kok, sayang. Papa cuma terkejut aja,” ujar Wira menenangkan Gavin yang masih bergetar hebat. Tangannya menggenggam tangan putranya.

Gavin menghempaskan tangan papanya. Ia menuju pada tumpahan teh panas dan merendam tangan di situ. Merasakan apa yang dirasakan papanya.

“Gavin!! Udah Papa bilang ‘kan Papa gak papa ya gak papa!” teriak Wira. Kesabarannya habis untuk hari ini. Ia memegang kedua tangan putranya kuat.

Seoranng psikiater dan seorang perawat datang saat mendengar teriakan pria paruh baya itu. “Gavin, kenapa Gavin minum teh hangat?” tanya psikiater Jepang sudah mahir berbahasa Indonesia itu lembut. Ia masih mengingat saat Gavin berteriak karena teh yang dibuat dingin atau hangat.

“Tante ke mana aja? Tante gak bakal takut ‘kan sama Gavin?” tanya Gavin begitu polos. Sorot matanya penuh harap dan ketakutan.

“Mana mungkin Tante takut sama anak seganteng Gavin,” jawab psikiater sembari mengelus wajah Gavin. “Gavin udah minum obat?” tanyanya.

Dengan penuh antusias, Gavin mengangguk. “Tante, kapan Gavin bisa jumpa lagi sama Rachel? Gavin kangen sama Rachel, sama adiknya Gavin,” ujarnya untuk keseribu kalinya.

“Nanti ya, sayang. Kamu sekarang harus potong rambut sama mandi dulu, ya.”

“Tante, Gavin gak takut lagi kok sama orang yang nyalahin Gavin. Gavin gak sengaja,” ujar Gavin tiba-tiba membuat semua orang yang ada di ruangan itu terkejut.

Ini adalah sebuah kemajuan. Selama tiga tahun berobat, Gavin tidak pernah mau menceritakan yang terjadi. Setiap kali ia diminta menceritakan pasti hanya ada tangisan dan teriakan serta kalimat tentang penolakan yang mengatakan bahwa ia tidak sakit.

“Gavin, kita jalan-jalan yuk!” ajak psikiater itu hati-hati.

Tubuh rapuh itu kembali bergetar. Gavin memundurkan tubuhnya dari psikiater itu. “Gak! Di luar itu bahaya. Kita bisa mati kalau keluar rumah. Aku gak mau buat orang mati lagi!” teriaknya sembari menutup telinganya. Ia mendengar suara jeritan dan tangisan yang begitu melengking. Suara semua orang yang menyalahkannya. Darah yang berceceran di mana-mana. “Aku gak mau di penjara!” teriaknya lagi.

*****

Tak biasanya Rachel menghiasi minggu pagi dengan senyuman. Biasanya ia kesal dengan hari libur yang menurutnya sangat membosankan ini tapi hari ini beda. Ray mengajaknya untuk jalan-jalan.

Ia menuruni tangga menghampiri ayah dan bundanya yang menunggunya di meja makan. “Hai, Yah! Hai, Bun!” sapanya , masih dengan senyum yang belum menghilang.

“Cantik banget anak Bunda, mau ke mana?” tanya Attania

“Mau jalan, Bun, sama kak Ray,” jawab Rachel. “Boleh ‘kan, Yah?” izinnya.

Arya mengangguk, ia bahagia dengan nazarnya yang sebentar lagi akan terlepas dan putrinya tak akan terkurung lagi. “Jangan buat Ray repot ya, sayang!” ujarnya.

Rachel mengangguk mantap lalu memakan sarapannya. Ratu bakar dan susu putih serta salad buah yang mengatur pola kesehatannya.

“Maaf Tuan, mengganggu, pacarnya Non Rachel ada di ruang tamu,” ujar seorang pembantu sopan.

“Bawa dia ke sini!” ujar kepala keluarga itu tegas.

“Baik, Tuan.”

Tak lama, seorang pria tampan denga jas biru tua datang. Pakaiannya sangat serasi dengan apa yang digunakan Rachel ini. “Kok bisa sama ya? Padahal kita gak janjian samaan baju!” batin Rachel.

Lihat selengkapnya