Rindu begitu menusuk kalbu. Mengingatkan pada duka lama yang memperpanjang jarak. Memaksa mereka untuk saling mengukur benang perpisahan. Namun, ia bukan hanya tentang rindu, jarak dan perpisahan tapi juga tentang indra keenam yang sekarang ada padanya.
Silvy menghubungi papanya, namun sudah berulang kali panggilannya tak terjawab. Ia hanya ingin tau, bagaimana kabar kakaknya di sana. “Halo, Pa!” sapanya saat panggilannya terjawab.
“Halo, sayang! Maaf Papa belum bisa pulang.” Terdengar nada sesal pada suara papanya.
“Gak papa, Pa. Papa sama Kakak apa kabar? Kakak udah ada perkembangan, Pa?” tanya Silvy, ingatannya kembali pada tiga tahun lalu. Sebuah kecelakaan yang memberikan tekanan batin pada kakaknya.
“Papa baik, kamu gak usah khawatir, tentang Kakak kamu perkembangannya cuma sedikit. Kita seharusnya mengikuti saran psikiater untuk membawa Rachel ke sana.”
“Gak, Pa. Itu bahaya buat Rachel. Dia gak tau apa-apa tentang Nevan, Pa,” tolak Silvy. Ia ingat betul bagaimana kakaknya begitu tergantung pada Rachel, ia tak ingin Nevan makin nekat mendekati Rachel karena kakaknya.
“Tapi seharusnya kamu bisa cerita ‘kan ke dia apa yang terjadi. Kamu harus tau, Rachel ada di dunia ini karena Kakak kamu!” tegas papanya.
Silvy berdecih kesal, perdebatan ini pasti akan terjadi setiap ia menghubungi papanya. “Papa juga lupa, Rachel juga yang udah bantu Kakak buat sembuh dari trauma kematian Mama. Kak Gavin aja yang pake acara bawa mobil!” kesalnya lalu memutuskan panggilan sepihak. Ia memang sangat rindu dengan papa dan kakaknya tapi jika berdebat terus-menurus ia tidak tahan.
Ia menatap ponselnya, apa ia harus menuruti permintaan papanya untuk menceritakan tentang Nevan. Apa hutang yang selama ini ia sembunyikan dari Rachel. Siapa Nevan hingga ia begitu mengusik kehidupannya dan Gavin.
Namun, Rachel memang seharusnya tidak tahu-menahu tentang hal ini. Sudah cukup kakaknya selalu menyusahkan sahabatnya itu. “Sebaiknya lo cerita aja tentang gue ke Rachel, lagian Kakak lo perlu sembuh ‘kan. Gue gak akan ngusik Rachel ataupun Kakak lo!” Nevan muncul di hadapan Silvy, menatap mata gadis itu yang terlihat bingung.
“Aku memang pernah ngusik Rachel beberapa hari setelah aku mati, tapi ‘kan itu aku cuma iseng doang!” tambah Nevan. “Lagian, Rachel orangnya cantik, lucu lagi.” Ia membayangkan tingkah Rachel saat di perpustakaan. Membuatnya tertawa ketika menampakkan wujud aslinya.
“Jangan bilang lo suka sama dia!”
*****
Tangan Rachel digenggam erat oleh Ray saat memasuki wisata pemandangan bawah laut. Aquarium besar dengan berbagai spesies hewan laut yang hampir lengkap. Menikmati nuansa laut yang menyejukkan.
“Kakak pernah nonton drama 'Legend of The Blue Sea', gak?” tanya Rachel yang terlihat antusias mengamati pemandangan di sekelilingnya.
Ray mendesah kecewa tertahan. Lagi-lagi Rachel bahkan sempat membayangkan hal lain saat bersamanya, dan sekarang malah menanyakan tentang drama. “Sabar-sabar!” batinnya. “Enggak pernah, Chel. Kenapa?” Ia merasa kalimatnya sedikit rancu. Seharusnya ia lebih belajar lagi tentang cara romantis pada Kean.
“Ohhh, kirain Kakak pernah nonton drama itu,” ujar Rachel kecewa. Ia mengingat percakapan Silvy dengannya tadi malam. Sahabatnya itu bilang hari ini Ray pasti akan menjadikannya pacar, tapi ini apa? Dari menjelajah hutan mangrove sampai lihat pemandangan bawah laut pria di sampingnya ini gak ada romantis-romantisnya. Bahkan sekarang pria itu malah berjalan mendahuluinya. Ia menghentakkan kakinya menahan kesal sembari mengikuti langkah kaki panjang Ray. “Kenapa Nevan gak muncul sih, seenggaknya gue ada kawan bicara?” batinnya.
Matanya melotot melihat hewan laut mengerikan yang berjalan ke arahnya. Ia membayangkan jika sekarang ia berada di laut yang sesungguhnya dan hewan bernama Fangtooth Fish itu bisa menerkamnya kapan saja.
Ia mengusap kaca penghalang yang ada di hadapannya seolah mengelus ikan itu. Matanya melotot lebih besar seperti sedang lomba melotot dengan ikan itu. Matanya sampai berair karena tidak berkedip-kedip. “Oke-oke, gue kalah.” Ia mengedipkan matanya setelah sangat banyak air matanya yang keluar.
“Rachel.” Suara Ray mengejutkannya yang sedang bermain dengan mainan barunya.
“Iya, Kak,” teriak Rachel. “Dadaaa!” Ia melambaikan tangan perpisahan pada hewan yang tidak tau apa-apa itu.
“Kamu lagi ngapain sih, Chel? Pas Kakak liat ke belakang, kamu udah gak ada,” tanya Ray.
Rachel menggaruk teluknya yang tidak gatal. Tidak mungkin ia mengatakan. ‘Aku lomba melotot sama ikan’' yang ada Ray malah gak jadi nembak dia. “Huuuf, gr banget sih lo, Chel!” batinnya.
“Chel?” Ray menatap bingung melihat gadis di sampingnya ini.
“Ehhh, iya, Kak. Aku gak ngapa-ngapain kok tadi, Kakak jalannya terlalu cepat jadi aku susah nyimbanginnya,” jawab Rachel asal.
“Makanya kalau Kakak pegang tangannya tu jangan dilepas!” Ray kembali mengambil tangan Rachel dan menggenggamnya. Mereka berjalan kembali dengan Rachel yang masih berada dalam lamunannya menunggu apa yang dikatakan Silvy menjadi kenyataan.
*****
Mentari terlihat sudah sangat lelah seharian penuh menghias bumi. Perlahan ia mundur. Bersembunyi dalam balutan awan hingga tampak cahaya menerawang tak sanggup tertutupi. Menimbulkan warna jingga dan rasa hangat penenang jiwa.
Rachel mengikuti Ray yang membawanya masuk ke dalam restoran mewah di tengah kota Jakarta. Restoran yang tak pernah sepi pengunjung. Matanya meneliti ke sekeliling restoran. Sangat ramai! Itu kesan pertama yang ia dapatkan. Ia berpikir Ray akan menyewa seluruh isi restoran ini seperti yang di film-film. Meninggalkan mereka berdua sembari menikmati suasana senja, tapi ini? Karena realita tak seindah ekspektasi.
Mereka duduk di pojok ujung, untuk melihat suasana kota Jakarta dari atas. Rachel mengamati sekitar, meja tempat mereka sama seperti kebanyakan meja lainnya. Tak ada yang istimewa sama sekali. Sepertinya perkataan Silvy sangatlah salah.