Pandangan Rachel fokus pada awang-awang. Semua pikirannya penuh dengan nama Gavin dan rasa bersalahnya. Kecelakaan yang melibatkan orang yang tak bersalah.
Cerita Silvy mengingatkannya pada Nevan. Pria yang bahkan sebelumnya tidak mereka kenal. Bagaimana bisa melintas di tikungan jalan menuju rumahnya. Ia tak menyadari, bahwa sosok yang mengusik pikirannya kini ada di belakangnya. Mata arwah itu memerah mengingat masa lalu. Marah dengan sebuah kegagalan yang menghiasi kematiannya.
“Tapi kenapa keluarga Nevan gak penjarain Kak Gavin ya?” gumam Rachel penasaran. Silvy belum menceritakan semua karena tiba-tiba, bundanya menelpon untuk pulang.
“Penasaran, Chel?” Akhirnya Nevan memunculkan diri setelah meredam amarahnya. Seperti biasa, ia tidak memperlihatkan sosok aslinya yang penuh luka pada Rachel. Ia hadir dengan wajah tampan yang bisa membuat para wanita terkagum.
Rachel terkejut saat pria yang sedang ia pikirkan ada di hadapannya. Tersenyum manis menambah ketampanannya. Ia mengingat perkataan Nevan jika arwah bisa membaca pikiran manusia. “Mau membaca gue lagi?” tanyanya sembari menatap Nevan tajam.
Nevan mengangkat bahu acuh, dia mengelilingi kamar Rachel. Melihat beberapa foto dan penghargaan yang terpajang. “Btw, lo cantik juga,” pujinya.
“Baru nyadar?” tanya Rachel kesal. Jelas ia adalah bidadari yang diturunkan ke bumi tapi arwah di hadapannya ini masih saja bertanya.
Seakan tak peduli perkataan Rachel, Nevan malah berjalan menuju cermin. Mengamati apa saja yang tersedia di meja rias Rachel. “Chel, lo gak ada modal atau gimana?” tanyanya sembari menunjuk perkakas wajah Rachel yang tidak seperti wanita lainnya bahkan Silvy saja masih memakai beberapa walau tidak banyak.
“Heh, gue mau make up gak make up tetap cantik.” Rachel terus memerhatikan apa yang dilakukan Nevan.
“Chel, gue ganteng ‘kan?” Nevan bertanya. Ehhh, bukan bertanya melainkan memuji diri sendiri.
“Muka siapa tuh lo tiruin?” tanya Rachel sembari mendekati Nevan.
“Maksud lo?”
“Niya, gue pernah nonton film horor. Di film itu dibilang kalo arwah tu bisa tiruin muka manusia yang dia mau.” Rachel penasaran, ia merasa kasian jika pria setampan Nevan mati tanpa sempat merasakan cinta. “Oya, gue mau nanya, waktu Silvy nangis itu lo ada di situ ‘kan?” Ingatan kembali mengingat tulisan cinta di telapak tangan Nevan.
“Pertama, ini memang muka gue tapi ini muka gue sebelum gue mati.” Ia melayang duduk di ranjang Rachel. “Kedua, hari Silvy nangis, lo gak salah liat kok,” jujurnya santai. Ia menatap foto Rachel ketika yang ada di nakas.
“Jadi … lo beneran suka sama Silvy?” tanya Rachel seakan tak percaya kehidupan drama ada di kehidupan sahabatnya.
Arwah yang ditanyai hanya manggut-manggut mengiyakan. Ia kemudian tidur terlentang di atas ranjang Rachel. “Jadi orang kaya enak banget ya, Chel,” ujarnya mengalihkan pembicaraan.
“Terus kenapa lo gak bilang ke Silvy?” Rachel masih fokus dengan rasa penasarannya. Menuntut hantu itu untuk berbicara.
“Huuuh, seandainya gue dulu orang kaya,” gumam Nevan yang masih bisa didengarkan oleh Rachel.
“Apa?” Rachel berusaha memastikan jika ia tak salah dengar. Jawaban hantu itu menurutnya sangatlah tidak ada sangkut pautnya dengan pertanyaannya.
“Gue udah mati, Chel. Itu point paling penting,” jawab Nevan.
“Itu mah gue juga udah tau.” Rachel mendengus, bukan itu jawaban yang ia inginkan.
“Terus?”
“Lo ngapain hari kecelakaan itu?” tanya Rachel, matanya menatap serius Nevan yang kini mulai berdiri.
Tanpa jawaban, arwah itu menghilang meninggalkan Rachel dengan rasa penasaran. Membiarkan gadis itu terpaku dengan sejuta pertanyaan. “Ininih, ribetnya urusan dengan hantu. Gak mau jawab, pergi gitu aja ….”
*****
Suasana kampus kini agak sepi. Beberapa mahasiswa sudah jelas tidak mendekati Rachel lagi. Mereka berusaha bersikap biasa saja. Menyapa dan mendapatkan senyuman sekena dari Rachel.
“Hai, Chel!” sapa Kean, sahabatnya Ray. “Silvy mana?” tanyanya sembari mencari-cari di mana gadis indigo itu.
“Hai juga, Kak.” Rachel tersenyum kembali. “Silvy gak masuk, Kak,” jawabnya.
Kean duduk di samping Rachel tanpa permisi. Mengambil alih bakso yang sedang Rachel makan. “Aaa,” ujarnya sembari memberikan mie itu tepat di depan mulut Rachel.
Alis Rachel terangkat, namun ia tetap menerima suapan Kean. Tak tahu-menahu jika di belakangnya kini ada sosok yang sedang cemburu. Menahan marah agar tak meninju Kean.
Tangan Kean ingin terukur untuk mengelus rambut Rachel tapi tangan kekar lain lebih dulu menggenggam tangannya seolah ingin meremukkan.
“Pacar gue!” ujar Ray menekan kata 'pacar' lalu menarik Kean untuk berdiri. Ray duduk di samping Rachel menggantikan posisi Kean dan Kean duduk di hadapan mereka. Mendengus kesal melihat tangannya yang perih akibat genggaman Ray. Meniup pergelangan tangannya yang memerah.
“Pelit amat lo! Orang gue cuma siapin Rachel.”
Tanpa peduli dengan Kean, Ray membersihkan tepian bibir Rachel. “Lain kali kalau ada cowok yang siapin kamu jangan mau ya, sayang.” Ia masih membersihkan bibir Rachel sembari menatap mata Rachel dalam, memperlihatkan bahwa ia benar-benar cemburu.
“Tapi … “
Jari telunjuk Ray melarang Rachel untuk membantah. “Aku cemburu.” Ia menegaskan. “Walaupun kalau Kean Kakak kamu, aku juga bakal cemburu, karena itu gak wajar dilakuin Kakak Adik.” ujarnya.
Deggg, perkataan Ray mengingatkan Rachel pada Gavin. Tidak tahu akan bagaimana jika mengetahui tentang Gavin. “Iya, Kak.” Ia berusaha menormalkan detak jantungnya.
Ray mengelus rambut Rachel gemas. Wajahnya dengan cepat maju dan mengecup pipi Rachel. “Sini Kakak suapin.”
Rachel melirik Kean yang masih ada di hadapan mereka. “Kak Kean gak mesan makan?” tanyanya dengan mulut penuh mie.
“Makanya, lo pergi nyari pacar sana!” ujar Ray melihat Kean sekilas lalu kembali fokus pada Rachel.
“Cewek yang gue suka gak datang.” Kean spontan lalu menutup mulutnya.
“Uhukkk.” Rachel terbatuk, matanya menatap Kean curiga. Bukan mengapa, begitu menghampirinya tadi, pria itu langsung bertanya di mana Silvy.
“Hati-hati, sayang.” Ray panik dan langsung memberi air pada Rachel.
“Gue pergi dulu.” Kean meninggalkan mereka. Meninggalkan rasa penasaran untuk Rachel.
“Kak, kayaknya Kak Kean suka sama Silvy deh,” ujar Rachel.
“Tapi bukannya Silvy udah punya pacar?”
*****
Angin sepoi-sepoi berhembus mengenai beberapa helai rambut Rachel. Membawa asap bakar jagung bersentuhan dengan kulit Rachel dan Ray. Aroma jingga terasa hangat menambah sensasi romansa di pinggir pantai.
Rachel dan Ray bersandar pada mobil. Tak jauh dari mereka ada beberapa penjual jagung bakar yang fokus pada dagangan dengan sesekali melirik mereka yang menikmati senja. Terbesit rasa iri namun tak bisa berbuat apa-apa.
“Aaa,” ujar Rachel mengarahkan jagung bakar ekstra pedas pada Ray.
Ray mengatup mulutnya rapat. Menolak untuk menerima suapan Rachel. Ia tidak bisa makan pedas.
“Enak , Kak. Aaa.” Rachel mengintruksi untuk membuka mulut.
“Kakak gak suka pedas, Chel.” Ray malu mengatakan jika ia akan sakit perut jika memakan pedas.
“Sekali aja, pasti bakal ketagihan.” Rachel memaksa.
Meski enggan, Ray menerima suapan Rachel. Lidahnya merasa kelu saat jagung ekstra pedas itu masuk ke dalam mulutnya. Melewati kerongkongannya yang tidak pernah tersentuh makanan sepedas ini.
“Enak ‘kan, Kak? Lagi?!” Rachel kembali ingin menyuapi Ray, tapi pria itu lebih dahulu berlari ke salah satu pedagang dan membeli air mineral. Ia meminum air itu dengan rakus seakan ada yang merebutnya.
Rachel menyusul Ray, ia merasa bersalah saat melihat wajah Ray yang memerah. “Maaf, Kak!” Dengan bodohnya, ia meniup-niup wajah Ray.
Ray mengeram tertahan, bukan karena rasa pedas di tenggorokannya melainkan hembusan napas Rachel padanya. “Sayang, Kakak gak papa!” ujarnya lalu menutup mulut Rachel.
“Serius gak papa?” tanya Rachel dengan mulut yang masih di dalam tangan Ray.
“Ke mobil yuk!” Ray mengalihkan pembicaraan. “Ini Pak, uangnya,” ujarnya lalu menarik tangan Rachel kembali bersandar di mobil. Menatap senja hingga ia hilang ditelan kegelapan malam.