Jam menunjukkan pukul 08.40, Rachel sudah terlambat 40 menit. Dengan napas ngos-ngosan, ia berlari menuju ruangannya. Ponselnya terus berdering yang ia yakini panggilan dari Silvy.
“Pagi …,” ujar Rachel menarik napasnya panjang setelah berdiri di pintu kelas yang tak terkunci. Ia melihat dosen tengah menerangkan materi hati ini. “Maaf, Pak. Saya ….”
“Ini sudah 40 menit, silahkan jalan-jalan.” Dosen separuh baya itu berkata tegas tanpa menatap Rachel. Menerapkan perjanjian dari awal pertemuan.
“Tapi, Pak ….”
“Silahkan keluar.”
Dengan wajah lesu, Rachel meninggalkan kelas itu menuju kantin. Ia terlambat karena lagi-lagi bundanya menyuruhnya belajar masak semalam. “Kak Rendy!?” gumamnya saat melihat Rendy yang keluar dari kelas. Pria itu tampak tampan seperti biasanya. Ia mengejar pria itu tanpa memanggil terlebih dahulu. “Hai, Kak!” sapanya dengan tangan menyentuh bahu Rendy.
Wajah terkejut Rendy dapat ditangkap dengan jelas oleh Rachel. Tapi beberapa detik kemudian kembali normal. “Ada apa?” tanyanya dengan nada dingin.
Bulu kuduk Rachel meremang melihat wajah tak damai dari Rendy. Wajah tampan pria itu seketika terlihat mengerikan menurutnya. Mata Rendy sangat sinis melihatnya.
“Lo gak ngomong, gue pergi nih!” Ancaman itu terdengar seperti kata pengusiran.
Rachel menghembuskan napasnya perlahan. Memberanikan diri menatap mata Rendy. “Kakak kenapa gak ada kabar?” tanyanya.
“Buat apa lo kabar gue?” Rendy jelas tentu sudah tau arah pembicaraan Rachel tapi ia hanya ingin memikirkan jawaban itu.
“Bukan buat aku, tapi Silvy.”
“Gak usah ikut campur lo!” Rendy ingin pergi meninggalkan Rachel tapi gadis itu menahan lengannya.
“Pengecut banget lo!” ujar Rachel kesal. Napasnya naik turun menahan emosi.
“Lo maunya apa sih, Chel?” Rendy melepaskan tangan Rachel kasar dari lengannya.
“Gue butuh jawaban.” Rachel menatap Rendy tajam. Seolah menakuti pria itu walau ia tau sia-sia.
Rendy terkekeh geli. “Lo kok bertingkah seolah lo yang jadi pacar gue!” kesal Rendy membalas tatapan tajam Rachel. “Denger, gue gak menghilang kok, tapi sahabat lo aja yang terlalu berharap!” lanjutnya sebelum Rachel menjawab.
“Berharap gimana sih, Kak. Jelas Kakak gak bilang putus ke dia. Kalau memang Kakak udah gak sayang lagi kasih dia penjelasan jangan jadi pengecut kek gini!” Suara Rachel terdengar melengking, membuat mahasiswa yang ada di sekitar situ menoleh ke arah mereka.
“Gue emang gak pernah sayang sama dia!” Rendy menekan semua kata yang keluar dari mulutnya. “Asal lo tau ya Rachel, yang nembak tu bukan gue … tapi sahabat lo!” tambahnya penuh penekanan.
Rachel terperangah mendekat kalimat terakhir Rendy. Ternyata Silvy selama ini berbohong dengannya tentang itu. Tentang cinta yang kini mencampakkannya. “Lo gak usah ngarang ya!” Kalimat tak sopannya kembali terdengar.
“Gak percaya lo tanya aja sama sahabat lo yang tergila-gila sama gue. Dia nembak gue siap gue menangin lomba basket di depan semua orang.” Rendy berjalan dengan sengaja menepis bahu Rachel.
“Terus kenapa Kakak terima dia?” teriak Rachel begitu sadar Rendy sudah menjauh dari pandangannya.
“Jadi lo maunya sahabat lo malu karna gue tolak?” Rendy juga berteriak membuat tanda tanya pada mahasiswa yang sedari tadi menonton.
*****
Harum senja serasa memuakkan bagi Silvy. Nyanyian dedaunan yang bergesekan menyayat hatinya. Burung-burung yang berkicau riang seolah mengolok-olok dia yang kini ditinggal cinta.
Matanya menunduk lurus ke bawah. Di sampingnya pria yang sangat ia cintai dan ia rindukan berdiri tegap sembari menghisap rokok. Menghembuskan asapnya ke udara bebas.
“Lebih baik kita putus!” Suara Rendy bergema dengan tegasnya. Terulang-ulang bersatu dengan hembusan angin. Ombak pantai berlari ria menyapanya.
Silvy menatap lurus ke depan. Mengamati betapa indahnya ciptaan Tuhan yang kini menjadi saksi bisu cinta tak bisa digapainya. Buih-buih ombak terlihat bahagia menyambut dukanya. “Kenapa?” tanyanya, suaranya hampir tak terdengar termakan perih di hatinya.
Hembusan napas Rendy terdengar begitu menyayat. Bagai alunan musik pengantar kematian. Betapa halus hingga dengan mudah masuk ke dalam kalbunya.
“Karena aku gak mau ngelanjutin hubungan ini.” Rendy melirik ke samping. Pada gadis yang kini menangis karenanya. Terluka karena cinta yang tak ingin dibalasnya.
“Kenapa?” Lagi-lagi hanya kata itu yang bisa Silvy tanyakan. Ia tak tau harus bertanya apa pada perasaannya.
Rendy tak tahan lagi untuk tak menatap Silvy. Gadis yang biasanya sangat banyak bicara saat bersamanya kini hanya bisa mengatakan satu kata. Kedua tangannya memegang lengan Silvy erat. “Cuma itu?” tanyanya. Ia memaki diri sendiri yang juga ingin menangis. Selama ia menjauh, ia hanya memberi titik jeda untuk bisa melupakan gadis itu. Lima tahun lamanya, mana mungkin cinta tidak muncul?
“Terus, aku harus bicara apa, Kak? Apa kalau aku mau ngelanjutin hubungan kita Kakak bakal mau?” Semua yang ada di benak Silvy akhirnya menyeruak. Menampar Rendy dengan kesalahan yang ia perbuat.