Rachel memakan bubur ayam yang dibelikan Ray untuknya dengan mata menahan kantuk. Semalam, ia dikejutkan dengan Silvy yang mengigau memanggil nama Rendy dan Nevan. Jika saja Ray tidak datang dan meneriaki namanya dari luar kamar mungkin ia lebih memilih berpelukan dengan guling kesayangannya seperti yang Silvy lalukan sekarang. Silvy bukannya membolos lagi, tapi memang kerena suhu tubuhnya sangatlah tinggi. ‘Efek putus cinta’ kata bunda.
Ray hanya mengamati Rachel yang terus memasukkan bubur itu ke dalam mulutnya. Meski terlihat mengantuk, Ray tau jika pacarnya itu sangat kelaparan. “Kita ke restoran aja yuk, Chel,” ajaknya.
“Kelamaan, Kak. Bubur ini aja udah cukup kok.” Rachel masih fokus pada buburnya. Setelah pulang dari kampus, ia berjanji akan langsung memeluk guling kesayangannya.
“Keadaan Silvy gimana?” tanya Ray sembari melengkapi catatan kuliah Rachel yang kosong. Gadisnya ini disuruh keluar kelas karena tidur di jam kuliah.
“Dia demam.” Rachel menghabiskan suapan terakhir. Ia bersiap untuk kembali berkelana ke alam mimpi jika saja Ray tidak membangunkannya.
“Belajar, Chel!”
“Aku ngantuk, Kak!” Rachel menatap Ray kesal tidurnya diganggu. Sebentar lagi akan masuk MK kedua untuk hari ini dan ia tidak ingin kembali dikeluarkan dari kelas karena ketiduran.
“Cuci muka gih!” Ray menarik Rachel untuk duduk. Ia merangkul pundak Rachel keluar kelas. Banyak pasang mata yang menatap mereka dengan gurat penuh tanya. Rachel dengan mata enggan untuk terbuka dan kepala yang bersandar di dadanya.
“Kok berhenti, Kak?” tanya Rachel saat merasa kakinya berhenti dipaksa berjalan. Ia membuka matanya dan melihat di mana mereka berhenti.
“Gak mungkin aku masuk juga ‘kan.” Ray menunduk ke bawah. Matanya bersitatap dengan bibir Rachel kerena gadis itu mendongak. “Chel.” Wajahnya mendekat sangat ingin menyentuh bibir itu.
“Ekhemmm.” Sadar, Rachel segera mendorong bahu Ray. Rasa kantuknya lenyap seketika melihat Eros berdiri tak jauh dari mereka dengan kedua tangan terlipat di dada.
“Pak Eros.” Ray berusaha menahan kesal pada dosennya itu. Bukannya tak tau jika dosen itu juga mencintai gadis yang ia cintai.
“Saya hanya mau memperingatkan kalau ini kampus.” Eros memendam rasa cemburunya. Matanya menatap lekat Rachel yang terlihat sangat terkejut karena kedatangannya.
“Ini gak seperti yang Bapak liat.” Rachel merasa bersalah. Gurat kesal Eros terlihat jelas di matanya.
“Saya gak peduli.” Eros berlalu masuk ke dalam toilet pria. Meninggalkan Rachel yang terpaku dan Ray yang menatapnya kesal.
“Ngapain kamu ngasih penjelasan gitu?” tanya Ray. Kepalanya memanas menahan api cemburu saat Rachel berusaha menjelaskan apa yang terjadi pada Eros yang sebenarnya sangat tidak penting.
“Aku cuma gak mau Pak Eros berpikir yang bukan-bukan.” Rachel gugup. Matanya tak berani menatap mata Ray yang menurutnya sangat mengerikan.
“Buat apa? Kamu takut citra kamu sama tuh dosen jelek? Gak penting!” Ray meninggalkan Rachel yang terkejut dengan perkataannya.
Rachel melihat langkah Ray yang menjauh. Ia belum pernah melihat Ray marah sebelumnya. Tak mengerti dengan sikap Ray yang menurutnya berlebihan. Penjelasannya hanya karena ia merasa bersalah saat menolak dosen itu.
“Dia cemburu.” Sosok Nevan lagi-lagi muncul di tengah perdebatan batinnya. Seakan tau semua seluk beluk kehidupannya.
“Ngapain lo ngikutin gue? Tu Silvy sakit karena sifat pengecut lo!” Rachel masuk ke toilet. Menjernihkan pikirannya karena Eros dan Ray.
*****
“Weee bro, kenapa lo?” tanya Kean begitu Ray sampai di mejanya. Wajah sahabatnya itu terlihat menahan amarah.
“Diam lo!”
“Wesss, takut gue.” Kean berdiri menghindari amukan Ray.
“Mau ke mana lo?”
“Mau tanya ke Rachel, dia apain sahabat gue,” jawab Kean sembari menahan tawa.
“Kepo lo!! Mending lo jengukin Silvy sakit.” Ray menyandarkan kepalanya pada meja. Bayangan wajah Rachel yang khawatir dengan Eros membuat dadanya sesak.
Bagaimana gadisnya itu tidak mengerti bahwa ia cemburu, bahkan tidak mengejarnya. “Bangsat!” Ia memukul meja kuat, menciptakan rona merah di telapak tangannya.
“Kamu cemburu?” Suara yang sangat dikenalinya membaut kepalanya. Eros berdiri tepat di depan mejanya. Mata mereka bertemu dengan amarah yang sama.
“Bapak harusnya sadar, Rachel itu udah milih aku jadi jangan ganggu dia lagi!” kesal Ray, untung saja kelas ini tidak ada orang selain dia dan Eros.
“Kan kalian belum nikah.” Eros menjawab santai. Begitu tenang hingga Ray ingin muntah melihat wajah itu. Ia menyesal pernah menjadikan Eros sebagai dosen yang paling ia gemari.
Eros keluar dari kelas, tak ingin memperpanjang perdebatan. Menurutnya, selama Ray belum mengikat Rachel, gadis itu masih ada kemungkinan akan berjodoh dengannya, suatu saat nanti.
*****
Angin siang berhembus santai. Mengusir sengatan matahari mengenai kulit. Menciptakan suara dedaunan yang bertabrakan. Burung-burung bernyanyi, mengepakkan sayap bahagia.
Punggung Rachel bersandar pada kepala bangku taman. Bingung dengan sikap Ray yang pergi tanpa penjelasan. Matanya menyipit saat menengadahkan kepalanya.
“Rachel.”
“Pak Eros?!” Rachel membalikkan tubuhnya. Bayangan saat Eros menyatakan cinta kembali terulang di memorinya.
“Minta maaf gih sama Ray.” Eros duduk di samping Rachel. Menatap langit cerah dengan mata yang hampir terpenjam.
“Maksud Bapak?” tanya Rachel. Ini pertama kalinya ia pacaran dan tidak mengerti sama sekali dengan sikap Ray.